Salah Obat Mengendalikan Polusi Udara
Pemerintah hendak memperketat uji emisi kendaraan bermotor untuk mengendalikan polusi udara. Salah obat.
UDARA Jakarta yang makin panas dan kotor membuat penduduknya kian rentan terjangkit berbagai penyakit. Paparan polusi udara, salah satunya, merusak saluran pernapasan karena udara mengandung sulfur dioksida (SO2), seperti dialami Presiden Joko Widodo yang batuk selama empat pekan.
Sulfur dioksida adalah polutan yang berasal dari pembakaran batu bara yang dampaknya merusak saluran pernapasan. Jakarta dikepung 16 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Banten dan Jawa Barat. Banyak studi menyebutkan paparan debu ataupun asap hasil pembakaran batu bara bisa menjangkau masyarakat yang tinggal 100-200 kilometer dari PLTU.
Musim kemarau akibat El Niño membuat sulfur dioksida terbawa angin dan dihirup masyarakat Jakarta dan kota-kota aglomerasi yang dihuni 30 juta orang. Apalagi banyak PLTU berada dekat permukiman. PLTU Cikarang Babelan di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, hanya 26 kilometer dari Jakarta Pusat. Sementara jarak Jakarta ke Banten kurang dari 100 kilometer.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdalih PLTU di Banten hanya menyumbang 1 persen pada polusi Jakarta. Debu batu bara dari PLTU di sana, kata Menteri Lingkungan, tak masuk Jakarta karena arah angin menuju sebaliknya, yakni ke arah Selat Sunda. Padahal karena pengamatannya dilakukan malam hari ketika angin berembus dari darat ke laut.
Dengan dalih itu, Kementerian Lingkungan menyodorkan solusi memperketat uji emisi kendaraan bermotor untuk mengendalikan polusi udara Jakarta. Padahal studi KLHK menyebutkan—meski sektor transportasi menyumbang polusi paling tinggi—64 persen komposisi polusi udara adalah sulfur dioksida. Pembakaran energi untuk industri dan PLTU menyemburkan SO2 sebanyak 1.071 ton per tahun. Artinya, jumlah SO2 dari pembakaran batu bara sebanyak 40 persen dari komposisi sulfur dioksida dalam polusi udara Jakarta.
Maka mengendalikan polusi dengan memperketat uji emisi kendaraan bermotor menunjukkan pemerintah lebih senang menimpakan kesalahan kepada warga negara, mereka yang membutuhkan transportasi untuk hidup sehari-hari. Kita tahu, orang banyak lebih tak berdaya secara politik.
Solusi pemerintah tak masuk ke tata kelola batu bara, industri, dan energi bersih. Sebab, jika masuk ke solusi ini, pemerintah berhadapan dengan industri dan oligarki serta diri sendiri karena PLTU batu bara milik Perusahaan Listrik Negara. Apalagi infrastruktur energi bersih ke lokasi industri tak pernah dibangun secara serius. Di kawasan industri Marunda, Jakarta Utara, pengusaha lebih senang memakai batu bara yang murah karena tak tersedia pipa gas ke sana.
Baca liputannya:
Pemerintah kehilangan momen membereskan tata kelola energi dan industri penyebab polusi. Kesempatan emas mencegah polusi adalah selama masa pandemi Covid-19 pada 2020-2022 ketika industri menghentikan operasi. Studi-studi pada 2020 memperingatkan polusi akan meningkat setelah pandemi karena industri memacu produksi lebih keras sebagai pengganti kehilangan pendapatan selama masa pandemi. Studi Carbon Brief memprediksi emisi naik lima kali lipat dibanding sebelum virus corona mewabah.
Polusi udara adalah problem yang kompleks. Mengendalikannya hanya dengan uji emisi kendaraan bermotor seperti mengobati kurap di sekujur tubuh dengan mengoleskan salep di ujung dengkul.