maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Untuk Apa OJK Terburu-buru Membentuk Bursa Karbon

Bursa karbon akan dibuka pada September mendatang. Regulasi dan infrastruktur belum siap.

arsip tempo : 171429838859.

Buru-buru Bursa Karbon. tempo : 171429838859.

OTORITAS Jasa Keuangan mengumumkan akan membuka bursa karbon pada September 2023. Ini pengumuman yang cukup berani mengingat infrastruktur perdagangan karbon di Indonesia belum siap. Bursa karbon adalah mekanisme pasar yang mempertemukan penjual jasa penyerapan emisi dengan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Dengan disinsentif bagi produsen emisi itu, gas rumah kaca pemicu pemanasan global diharapkan berkurang.

Masalahnya, untuk menciptakan transaksi, perlu lembaga independen yang menghitung penyerapan dan produksi emisi sehingga perdagangan karbon berjalan secara adil berdasarkan kesepakatan penjual dan pembeli. Penghitungan karbon juga memerlukan metodologi yang disepakati kedua belah pihak. Di pasar karbon sukarela ada banyak metodologi yang sudah berlaku secara global, tapi pemerintah Indonesia belum mengumumkan metode mana yang akan dipakai sebagai dasar penghitungan.

Sejauh ini, dari kesepakatan antara OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dua pekan lalu, otoritas penghitungan emisi ada di Sistem Registri Nasional di bawah KLHK. Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menerbitkan sertifikat perdagangan emisi. Pada dasarnya, sertifikat inilah yang diperdagangkan di bursa karbon.

Belum lagi soal harga per unit emisi yang dihitung setara dengan ton karbon dioksida (CO2). Mekanisme pasar memungkinkan harga karbon terbentuk sebagai kesepakatan antara penjual dan pembeli. Tapi apa dasarnya? Jika mengacu pada harga karbon dalam kerja sama penurunan deforestasi antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, tiap ton penyerapan emisi dihargai US$ 5 atau sekitar Rp 77.500. Ini harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan harga emisi di bursa karbon Eropa yang tembus US$ 100 per ton.

Konsekuensi dari harga karbon yang murah adalah greenwashing atau pencucian dosa lingkungan para produsen emisi. Para produsen gas rumah kaca, industri berat yang menghasilkan polusi, akan terus memproduksi emisi lalu menebusnya dengan membeli jasa penyerapan atau penurunan emisi pihak lain. Walhasil, tujuan perdagangan karbon untuk mencegah krisis iklim jauh panggang dari api.

Apalagi pemerintah Indonesia menyediakan jalan keluar lain mencuci dosa lingkungan melalui pajak karbon yang murah. Dua tahun lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menetapkan pajak karbon sebesar Rp 30 ribu per ton setara CO2. Para produsen emisi jelas akan memilih membayar pajak ketimbang mengeluarkan biaya lebih banyak dengan mekanisme yang rumit jika masuk ke bursa karbon.

Kajian Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juni 2021 mengusulkan harga patokan emisi dalam skema mitigasi krisis iklim sebesar US$ 75 per ton. Hitungan Wood MacKenzie Energy lebih fantastis lagi. Lembaga konsultan energi bersih di Amerika Serikat ini menyebutkan harga karbon ideal yang sesuai dengan Perjanjian Paris mengurangi 45 persen emisi global agar dunia bisa mencegah pemanasan bumi 1,5 derajat Celsius adalah US$ 160 per ton.

Dengan infrastruktur perdagangan emisi yang belum siap, bursa karbon akan memicu kekisruhan baru dalam ketidakjelasan arah mitigasi krisis iklim. Apalagi kebijakan-kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara makin mendorong industri ekstraktif yang memicu perusakan alam, konflik sosial, dan pemanasan global.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Buru-buru Bursa Karbon"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan