Risiko Pertamina Membeli Minyak Murah
Pembelian minyak murah dari Iran oleh Pertamina menuai masalah. Perbaikan sistem pengadaan yang tak pernah tuntas.
UPAYA PT Pertamina (Persero) membeli minyak murah dari Iran berpotensi menuai sanksi internasional. Manajemen perseroan mesti berhati-hati mengambil keputusan. Sebab, jika salah langkah, dampaknya bisa merembet ke mana-mana.
Persoalan ini bermula dari tertangkapnya supertanker MT Arman 114 oleh Badan Keamanan Laut di perairan Natuna, Kepulauan Riau, pada Jumat, 7 Juli lalu. Kapal berbendera Iran ini ditangkap lantaran melakukan pemindahan muatan atau transshipment, membuang limbah, serta mematikan alat pelacak kapal atau automatic identification system.
Belakangan diketahui bahwa MT Arman membawa minyak jenis light crude sebanyak 272.569 metrik ton yang nilainya ditaksir Rp 4,6 triliun. Minyak asal Iran ini diduga akan dikirim ke salah satu kilang Pertamina. Jika saja minyak itu tak berasal dari Iran, Pertamina tak bakal terjerat persoalan. Masalahnya, Iran tengah terkena sanksi embargo Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Sanksi ini bisa berlaku bagi siapa saja yang berniaga dengan si pesakitan.
Di sini Pertamina menghadapi dilema. Di satu sisi, harga minyak Iran relatif murah jika dibandingkan dengan dari negara lain. Sebagai perbandingan, harga minyak jenis Iran Heavy dan Iran Light di beberapa platform perdagangan sebesar US$ 75-77 per barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis Brent sudah di atas US$ 83 per barel.
Informasi yang diperoleh majalah ini, Pertamina mendapatkan minyak Iran dari trader dengan selisih US$ 15-20 per barel dari Mean of Platts Singapore (MOPS). MOPS adalah nilai yang menjadi patokan penghitungan harga bahan bakar minyak nasional. Selisih harga ini jelas menurunkan biaya pengadaan minyak mentah.
Di sisi lain, Pertamina terancam sanksi dari negara atau investor-investor Barat yang menjadi bondholder atau pemegang obligasi yang diterbitkan perseroan. Risiko lebih besar bisa menimpa Indonesia, jika Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya turut mengenakan sanksi perdagangan atau menahan investasi. Padahal investasi dan ekspor menjadi komponen utama pertumbuhan ekonomi. Tanpa aliran modal dan devisa hasil ekspor ke negara-negara itu, bisa jadi target pertumbuhan ekonomi tak tercapai.
Risiko semacam ini pernah mengemuka, saat Presiden Joko Widodo membuka opsi impor minyak langsung dari Rusia. Padahal Rusia tengah terkena embargo setelah menginvasi Ukraina. Secara bisnis, impor minyak Rusia mungkin saja menguntungkan karena negara itu menawarkan harga rendah. Namun ini bukan pilihan karena, selain berisiko terjerat embargo, Indonesia bisa dituduh mendukung Rusia yang tengah berupaya "menjajah” Ukraina. Hal ini juga yang mesti dipertimbangkan Pertamina, meski konteks persoalan embargo Iran tak sama dengan Rusia.
Baca artikelnya:
Skema pengadaan minyak dengan risiko besar pada akhirnya tak menguntungkan Pertamina ataupun negara. Jika cuma mengharap selisih harga, bisa jadi yang untung hanya para trader, sementara Pertamina dan pemerintah pada akhirnya tertimpa sanksi negara-negara maju. Yang sudah jelas menguntungkan adalah pengadaan minyak secara transparan dan efisien, dengan skema yang meminimalkan campur tangan para pemburu rente.
Pengadaan melalui transaksi dengan sesama perusahaan minyak nasional atau lewat kerja sama perdagangan antarnegara bisa menjadi opsi yang menguntungkan ketimbang membeli minyak murah dari pedagang di pasar gelap dengan risiko besar.