Biang Kisruh Pemilihan Rektor
Kisruh pemilihan rektor universitas negeri terus berulang. Buah politisasi dan komersialisasi kampus.
KISRUH pemilihan Rektor UNS atau Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, kembali menunjukkan bahwa komersialisasi dan politisasi bisa membahayakan otonomi serta demokrasi kampus. Alih-alih menjadi ajang seleksi pemimpin terbaik, pemilihan rektor malah menjadi arena memperbesar akses kepada sumber kekuasaan dan uang.
Sidang pleno Majelis Wali Amanah (MWA) UNS pada November 2022 memilih Sajidan sebagai rektor untuk periode 2023-2028. Sajidan meraih 12 suara, mengalahkan Hartono (11 suara) dan I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani (2 suara). Hartono, pesaing terberat Sajidan, disebut-sebut jagoan pemerintah pusat. Dalam aturan pemilihan rektor—diwakili Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—pemerintah pusat memiliki suara 35 persen dari pemegang hak pilih yang hadir. Faktanya, Sajidan yang memenangi pemilihan itu. Tapi urusan belum selesai sampai di situ.
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membatalkan penetapan Sajidan sebagai rektor definitif. Tentu saja alasan resminya bukan karena Sajidan mengalahkan Hartono. Kementerian menganggap ada kecurangan dalam pemilihan orang nomor satu di UNS itu. Selain memperpanjang masa jabatan rektor lama, Menteri Nadiem membekukan Majelis Wali Amanah UNS. Perlawanan MWA, yang berencana menggugat keputusan menteri ke pengadilan tata usaha negara, membuat situasi makin runyam.
Tak hanya di UNS Solo, kekisruhan pemilihan rektor pernah terjadi di sejumlah kampus negeri lain. Meski pemicu dan polanya berbeda, akar masalahnya mirip-mirip: politisasi dan komersialisasi kampus yang salah kaprah.
Politisasi tak terhindarkan tatkala pemilihan rektor didominasi kepentingan kekuasaan. Dorongannya bisa datang dari dua arah. Dari pusat kekuasaan, lewat hak suara 35 persen, pemerintah kerap menyetir pemilihan rektor demi memenangkan calon yang “direstui”, meski tidak begitu diterima di lingkungan kampus. Dari arah sebaliknya, calon yang sangat berambisi menjadi rektor biasanya lebih gencar melakukan lobi-lobi “ke atas” ketimbang menggalang dukungan “akar rumput”.
Komersialisasi perguruan tinggi negeri juga membuat pemilihan rektor sering kisruh. Setelah kampus negeri diizinkan menggalang dana di luar anggaran negara, jabatan rektor kian menggiurkan. Selain menjanjikan gaji dan fasilitas “wah”, jabatan rektor bisa menjadi kesempatan untuk mendekat ke pelbagai sumber dana. Rektor bisa menjadi simpul dalam jual-beli kursi mahasiswa baru di jurusan favorit lewat jalur mandiri. Rektor pun bisa menjadi kunci dalam jual-beli gelar doktor atau profesor kehormatan. Maka godaan untuk menghalalkan segala cara dalam pemilihan rektor pun makin besar.
Untuk mengurai benang kusut itu, pemilihan rektor harus dikembalikan sebagai bagian dari otonomi dan demokrasi kampus. Hapuskan jatah 35 persen suara Kementerian Pendidikan dalam pemilihan rektor. Alih-alih mengintervensi hasil pemilihan dengan jatah suara gratisan, Kementerian Pendidikan lebih penting memastikan pemilihan rektor berlangsung jujur, transparan, dan partisipatif—dengan lebih melibatkan kalangan civitas academica.