maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Mudarat Berulang Tata Niaga Daging Impor

Pendapat sejumlah menteri terbelah soal kewenangan impor daging kerbau. Kepentingan pemburu rente di balik sistem kuota. 

arsip tempo : 173084053041.

Mudarat Berulang Tata Niaga Daging Impor . tempo : 173084053041.

JANJI Presiden Joko Widodo bahwa di periode kedua pemerintahannya Indonesia mampu mencapai swasembada daging tampaknya makin mustahil terwujud. Alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri dan menahan gejolak harga, daging impor menjadi sumber konflik anggota kabinet yang membawa kepentingan segelintir pengusaha.

Harga daging sapi dan kerbau terus melambung dalam enam bulan terakhir. Harga daging sapi mencapai Rp 100 ribu per kilogram, jauh meninggalkan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 80 ribu. Adapun harga daging kerbau menembus Rp 90 ribu, di atas harga normal Rp 80 ribu. 

Kenaikan harga ini di luar kewajaran. Apalagi pemerintah telah membuka keran impor daging kerbau agar bisa menambal kurangnya pasokan daging sapi yang membuat harganya melampaui HET. Namun ikhtiar itu sia-sia karena harga barang substitusi ini terus membubung nyaris mendekati harga daging sapi. 

Gejolak harga daging kerbau sejatinya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Pangkal masalahnya adalah sistem pengadaan melalui impor yang keliru dan hanya menguntungkan beberapa pengusaha. Sudah terbukti, kebijakan serupa berkali-kali gagal mengatasi persoalan daging, bahkan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kekisruhan bermula dari hak monopoli yang diberikan pemerintah kepada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sejak 2018. Perusahaan negara di bidang logistik dan pangan ini mendapat penugasan dari pemerintah untuk mengimpor daging kerbau, dan kemudian menyalurkannya ke banyak distributor.

Alih-alih melakukan itu, Bulog malah menyerahkan kewenangan distribusi kepada PT Suri Nusantara Jaya dan sejumlah perusahaan afiliasinya. Monopoli distribusi ini menambah biaya ekonomi dan merugikan konsumen. Keuntungan dari rantai distribusi yang tidak sehat itu dinikmati segelintir pebisnis yang dekat dengan pejabat tinggi negara. 

Pemberian hak menjadi distributor tunggal jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lewat penunjukan itu, Suri Nusantara Jaya meraup untung besar karena cukup membeli daging kerbau dari Bulog Rp 70 ribu per kilogram, lalu menjualnya ke pengecer dan distributor lain Rp 84-85 ribu, jauh di atas harga acuan Rp 80 ribu per kilogram. 

Dalam rapat koordinasi terbatas pada 25 Januari lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memutuskan impor 100 ribu ton daging kerbau dari India oleh Bulog. Berbekal restu itu, Bulog akan mulai mendatangkan daging kerbau asal India pada pekan kedua Maret mendatang. Selanjutnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, hak distribusi bakal kembali diserahkan kepada PT Suri Nusantara Jaya, yang selanjutnya menjualnya ke perusahaan-perusahaan lain.

Kekacauan tidak berhenti di sini. Kementerian Pertanian menunjuk 19 perusahaan importir daging, yang beberapa di antaranya pernah tersangkut masalah hukum jual-beli kuota impor. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berdalih penunjukan itu sah karena diatur Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2022 yang mengizinkan impor daging oleh swasta.

Adu kuat kewenangan seputar impor daging kerbau ini melahirkan konflik Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dan Airlangga Hartarto di satu pihak versus Syahrul Yasin Limpo di pihak lain. Sengkarut juga meruapkan aroma politik karena Syahrul adalah politikus Partai NasDem, sementara Airlangga Ketua Umum Partai Golkar dan Budi Waseso dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.


Artikel:


Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan kondisi buruk ini berlarut-larut. Langkah awal yang harus diambil adalah membuang jauh-jauh mimpi menjadikan Indonesia negara swasembada daging. Kondisi alam kita tidak cocok menjadi lahan peternakan sapi dan kerbau berskala besar. 

Setelah itu, Jokowi mesti mengarahkan kebijakan pengadaan daging mengikuti mekanisme pasar terbuka guna menciptakan kompetisi yang sehat. Tata niaga daging yang selama ini memakai sistem kuota harus diakhiri. Sudah terbukti, kuota hanya menjadi dagangan para pemegang kebijakan yang bersekutu dengan para pemburu rente. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 3 November 2024

  • 27 Oktober 2024

  • 20 Oktober 2024

  • 13 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan