Penunggang Insentif Kendaraan Listrik
Insentif dan subsidi kendaraan listrik riskan jadi ajang berburu rente. Pejabat dan pengusaha terlibat dalam pembahasan.
KEBIJAKAN publik yang baik jadi terlihat buruk ketika ada yang menunggangi. Kondisi ini berpotensi terjadi dalam penyediaan insentif dan subsidi kendaraan listrik. Sederet pejabat yang memiliki konflik kepentingan dan pebisnis yang dekat dengan penguasa sudah antre untuk menikmati subsidi dan insentif ini.
Karena itu pemerintah harus ekstra-waspada merancang skema subsidi dan insentif kendaraan listrik. Konsumen sepeda motor listrik bakal mendapat subsidi Rp 7 juta per unit. Untuk mobil listrik, pemanisnya berbentuk diskon pajak pertambahan nilai, dari 11 persen menjadi hanya 1 persen. Skema insentif serupa akan berlaku buat bus listrik.
Sekilas, pemberian subsidi dan insentif tersebut tampak lazim. Banyak negara maju melakukannya sejak sedekade lalu, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, negeri-negeri di Skandinavia, Amerika Serikat, juga Cina, yang kini menjadi raksasa industri kendaraan listrik dunia. Mereka tak hanya membebaskan kendaraan listrik dari aneka pajak, tapi juga mensubsidi secara tunai agar orang-orang mau beralih dari kendaraan fosil penghasil polusi ke kendaraan setrum bebas emisi. Tapi menyontek mentah-mentah jurus negara-negara kaya itu merupakan tindakan naif bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Memang, alasan pengucuran insentif amat mulia. Upaya ini bisa mengungkit permintaan kendaraan listrik yang sekarang masih sangat minim. Dengan pasar yang besar, semangat investasi industri otomotif listrik dan turunannya, seperti pembuatan mobil dan sepeda motor, suku cadang, dan bahan baku baterai mobil listrik, dapat tersulut. Dengan begitu, semua tabungan nikel Indonesia yang menjadi bahan baku baterai bisa termanfaatkan di dalam negeri.
Subsidi dan kebijakan insentif kendaraan listrik juga terkesan baik karena dapat mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Ada potensi peralihan pengguna kendaraan bertenaga fosil ke listrik.
Tapi, sayangnya, bau anyir konflik kepentingan justru lebih menyengat dalam kebijakan tersebut. Sejumlah pejabat dan pengusaha yang dekat dengan penguasa saat ini sudah mengkaveling bisnis kendaraan listrik dari ujung ke ujung. Secara terang-terangan ada yang mendadak jadi taipan otomotif listrik, atau berhasil mengamankan bisnis tambang nikel dan pengolahannya.
Maka muncul wasangka, jangan-jangan kelompok inilah yang bakal menjadi penikmat terbesar subsidi dan insentif kendaraan listrik, yang jumlahnya bisa triliunan rupiah. Mereka yang membuat kebijakan, mempengaruhi penyusunan kebijakan, dan dapat mencungkil keuntungan dari kebijakan itu. Inilah bentuk telanjang perburuan rente lewat pembuatan kebijakan atau peraturan (state capture corruption).
Artikel:
Jika subsidi dan insentif ini tak terhindarkan—jadi satu-satunya cara tersisa untuk mencolek investasi—pemerintah harus mengatur ketat skema dan penyalurannya. Jangan sampai kebijakan itu dimanfaatkan "Si Aji Mumpung" yang tiba-tiba jadi pedagang karena tahu jualannya pasti untung berkat adanya insentif dan subsidi.
Insentif dan subsidi kendaraan listrik harus benar-benar bisa membuka keran investasi dan menurunkan subsidi BBM. Kebijakan tersebut juga mesti dibarengi dengan insentif transportasi publik dan disinsentif kendaraan fosil. Tanpa itu semua, subsidi dan insentif kendaraan listrik hanyalah cara bersih berburu rente, yang difasilitasi negara.