Air Bersih adalah Hak Asasi Manusia
Negara gagal menyediakan air bersih untuk semua lapisan masyarakat. Kembalikan air sebagai barang publik.
RIBUT-RIBUT soal kandungan mikroplastik dalam air minum kemasan tak hanya mengindikasikan adanya “perang dagang” di antara sesama perusahaan air mineral. Lebih serius, hal itu menyingkap kegagalan negara dalam menyediakan air bersih dan layak minum untuk semua warga negara.
Sejumlah studi menemukan adanya partikel mikroplastik dalam sampel air minum kemasan. Riset Greenpeace Indonesia dan Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia pada September 2021 menemukan 85-95 juta partikel mikroplastik per liter air kemasan sekali pakai—hampir tiga kali lipat kadar mikroplastik pada air dari sumber alami. Tim peneliti juga meyakini jumlah partikel mikroplastik bisa lebih banyak pada air minum kemasan isi ulang. Sebab, proses cuci-pakai galon serta penyimpanan dalam waktu lama rawan melepaskan mikroplastik.
Ahli ekotoksikologi dari Vrije Universiteit Amsterdam untuk pertama kalinya menemukan mikroplastik dalam darah manusia. Tayang di Journal Environment International edisi online pada 24 Maret 2022, laporan itu menyimpulkan mikroplastik telah diserap oleh tubuh manusia. Memang belum jelas betul apa bahaya mikroplastik pada kesehatan manusia. Tapi kita tak boleh lengah seraya menunggu bencana akibat dampak buruk mikroplastik.
Di luar itu, hak atas air bersih telah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2002 menyatakan hak atas air bersih tak bisa dipisahkan dari hak mendasar lain, seperti hak untuk hidup dan kesehatan. Implikasinya, setiap negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air bersih semua warganya.
Jauh sebelum kesepakatan komite PBB itu, konstitusi kita juga mengatur kewajiban negara dalam mengelola sumber daya air. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyatakan bahwa negara menguasai sumber daya air dan menggunakannya untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya, setelah berkali-kali ganti presiden, pemerintah kita gagal memenuhi kebutuhan rakyat akan air bersih.
Kesalahan bermula ketika pemerintah mengalihkan urusan penyediaan air bersih dari badan usaha milik negara/daerah kepada swasta. Setelah meneken kontrak, pemerintah tak serius mengontrol swasta. Akibatnya, air bersih yang seharusnya tersedia sebagai barang publik yang bisa diakses dengan gratis menjadi komoditas ekonomi yang hanya bisa diperoleh dengan biaya mahal.
Di banyak tempat, terutama di kawasan kumuh dan miskin di kota besar, warga tak punya pilihan selain menggunakan air minum kemasan. Sebab, air sumur tak bisa dikonsumsi karena tercemar bakteri. Pemerintah dan swasta pun tak menyediakan jaringan pipa air bersih yang memadai. Celakanya, selain membayar mahal, penduduk miskin kini harus menerima kenyataan pahit: air minum kemasan tercemar mikroplastik pula.
Pemerintah bahkan lalai memperingatkan bahaya mikroplastik dalam air kemasan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebetulnya telah merancang aturan yang mewajibkan pencantuman peringatan tentang bahaya Bisphenol A (BPA)—senyawa kimia berbahaya dalam mikroplastik—pada galon air minum pakai ulang. Namun nasib aturan yang ditentang sebagian produsen air minum kemasan itu tak kunjung jelas, meski BPOM telah mengirimkan drafnya ke kantor Sekretariat Negara.
Sebelum semuanya terlambat, negara wajib mengembalikan status air bersih sebagai res commune alias barang publik yang mudah diakses oleh masyarakat. Air bersih tak boleh menjadi komoditas ekonomi yang harganya diserahkan kepada pasar. Kalaupun pemakai air bersih perlu membayar, tarifnya harus terjangkau dan tidak menggerus daya beli untuk memenuhi kebutuhan pokok lain.
Baca liputannya:
- Seberapa Bahaya Mikroplastik dalam Galon Air Minum
- Aturan Ambang Batas Mikroplastik dalam Air Minum
- Bahaya Mikroplastik Bagi Kesehatan Manusia
- Bagaimana Mikroplastik Masuk Tubuh Manusia
- Perang Bisnis Industri Air Minum dalam Kemasan
Bila terbentur keterbatasan teknologi dan permodalan, pemerintah bisa saja menggandeng swasta dalam penyediaan air bersih. Tapi, atas nama negara, pemerintah harus memastikan distribusi air bersih oleh swasta memenuhi kebutuhan pokok semua lapisan masyarakat. Pemerintah tak boleh membebankan semua biaya produksi dan keuntungan perusahaan swasta kepada masyarakat. Anggaran negaralah yang harus menyubsidi selisih biaya itu.
Dengan segala kewenangannya, negara harus hadir untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk menjamin hak hidup serta kesehatan semua warga.