maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Mengapa Pengadaan Tes Covid-19 Kisruh

BPKP menemukan potensi kerugian negara pengadaan hampir 2 juta unit alat tes Covid-19. Akibat buruknya koordinasi atau korupsi?

arsip tempo : 171416769764.

Darurat Dahulu, Mubazir Kemudian. tempo : 171416769764.

SETAHUN setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global, inilah saat kita menengok ke belakang. Berhenti sejenak untuk belajar dari kekeliruan penanganan pandemi jauh lebih bijak ketimbang jalan terus seraya menganggap tak ada yang menyimpang. Ketergesaan mengambil keputusan atas nama kedaruratan hanya membawa mudarat jika tak dibarengi transparansi dan akuntabilitas.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai potensi kerugian negara dalam pengadaan jutaan unit alat kesehatan untuk penanganan pandemi merupakan salah satu contoh kekeliruan. Pengadaan alat tes dan reagen polymerase chain reaction (PCR), ribonucleic acid (RNA), serta viral transport medium (VTM) yang dilaporkan BPKP itu terjadi pada April-Agustus 2020 dengan potensi kerugian hampir Rp 40 miliar.

Sebulan setelah dikirim ke berbagai provinsi, baru diketahui bahwa alat tes reagen tak cocok dengan fasilitas laboratorium. Tak tanggung-tanggung, 78 laboratorium di 29 provinsi secara bertahap mengembalikan alat tes dan reagen tersebut, dengan total nilai hampir Rp 170 miliar. Insiden ini jelas merupakan sinyal buruk tata kelola pengendalian pandemi.

Memang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal Doni Monardo sudah meminta perusahaan penyedia alat kesehatan yang bermasalah segera menarik produk mereka. Meski begitu, tetap ada risiko semua reagen tersebut kedaluwarsa jika tak segera diredistribusi ke lab yang tepat. Kesalahan fatal seperti ini seharusnya tak terjadi jika pemerintah mampu berkoordinasi dengan lebih baik.

Koordinasi, itulah soalnya. Pada April 2020, di masa kritis penanganan pandemi Covid-19, Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 memiliki data yang berbeda soal ketersediaan reagen dan alat tes PCR. Satgas memastikan stok kosong, sementara Kementerian yakin stok reagen masih ada. Pada saat yang sama, para dokter dan pengelola laboratorium sudah kelimpungan karena puluhan ribu spesimen menumpuk tanpa bisa dites. Tanpa tes, rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan tak bisa membedakan mana pasien Covid-19 dan mana yang bukan.

Pada kondisi segenting itu, Kementerian Kesehatan tidak hanya bungkam soal ketersediaan reagen, mereka juga tak memiliki daftar alat kesehatan yang lolos uji produk atau setidaknya laik pakai. Sebagai otoritas medis tertinggi di Indonesia, mereka tak menyediakan data yang tepat dan memadai soal spesifikasi alat kesehatan dan laboratorium. Karena itu, amburadulnya pengadaan alat reagen yang kemudian terjadi sebenarnya tak mengagetkan. Miskoordinasi ini berpotensi menimbulkan ratusan miliar rupiah kerugian negara.

Telah banyak ditelaah: di masa-masa awal, Indonesia mengatasi pagebluk tanpa kepemimpinan. Semua unit pemerintah bergerak sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi. Otoritas medis yang seharusnya responsif dalam melindungi kepentingan publik malah lumpuh. Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan ketika itu, bahkan menolak mengakui krisis kesehatan yang skalanya sudah sangat mengkhawatirkan.

Aktivitas dasar seperti pengujian, pelacakan, dan pengobatan untuk meredam penyebaran Covid-19 tak dilakukan pemerintah dengan sungguh-sungguh. Semua itu terjadi bukan semata karena keterbatasan sarana, melainkan lantaran berkembangnya pandangan anti-sains bahkan di kalangan pemerintah sendiri.

Lemahnya infrastruktur pelayanan kesehatan juga patut menjadi catatan. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, tak diurus dengan baik. Berada dalam wewenang kepala daerah, nasibnya tergantung niat politik serta kesadaran para gubernur, bupati, dan wali kota. Soal produksi obat dan alat kesehatan, kita juga kedodoran. Berbeda dengan Cina dan India, yang bertahun-tahun berinvestasi dalam industri farmasi dan alat kesehatan, Indonesia jauh tertinggal.


Baca liputannya:


Tak hanya di bidang kesehatan, setahun pandemi juga menunjukkan kelemahan kita dalam hal kebijakan sosial-ekonomi. Proporsi anggaran untuk sektor kesehatan dan sosial jauh lebih minim ketimbang pos belanja lain. Kaum miskin dan rentan diperlakukan ala kadarnya dalam skema perlindungan sosial. Anggaran bantuan sosial bahkan dikorupsi.

Solidaritas sosial sebagai modal utama malah tak dikelola dengan baik. Kelompok masyarakat yang ingin membantu kerap dicurigai. Pemerintah gagal membangun kepercayaan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghalau pandemi. Jika pemerintah tak mengevaluasi kinerjanya setahun terakhir, semua catatan buruk ini sangat mungkin terulang kembali.

Di edisi cetak, artikel iin terbit di bawah judul "Darurat Dahulu, Mubazir Kemudian"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024

  • 31 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan