Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tanjung Uma Bagai 10 Tahun Silam

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh tahun seperti tak berarti bagi Tanjung Uma, Batam. Digadang-gadang bakal menjadi kawasan bisnis terintegrasi, akhirnya malah seperti kawasan telantar. Kerja sama Otorita Batam dengan pihak kedua tak berjalan mulus. Bahkan setelah akta perjanjian kerja sama direvisi, juga ”pihak kedua” ganti posisi dari PT Repindo Trisakti Mas ke PT Eka Mas Mandiri Perkasa, Tanjung Uma bagai tak berubah.

Sebelum 1996 Otorita Batam berniat menyulap kawasan kumuh Tanjung Uma menjadi kawasan niaga terpadu. Tanjung Uma dipilih lantaran dekat dengan Nagoya—bagian kota yang secara tradisional tumbuh menjadi pusat niaga—di Batam. Otorita mencari perusahaan swasta yang bersedia menjadi pengembang di kawasan seluas 350 hektare itu.

18 April 1996 Otorita menunjuk PT Repindo Trisakti Mas sebagai pelaksana pengembangan dan pembangunan Tanjung Uma. Kerja sama ini tertuang dalam dokumen perjanjian No.14/UM-Perj/IV/1996. Nota perjanjian ini diteken oleh B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita dan Eddy Hussy sebagai Direktur Utama PT Repindo Trisakti Mas. Pada 12 Juli 1996 dibuat akta turunan perjanjian yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Hak-hak PT Repindo

  1. Memperoleh pembayaran atas biaya infrastruktur dari investor.
  2. Memperoleh lahan siap bangun sisa dari Otorita sebagai kompensasi pembayaran infrastruktur.
  3. Lahan siap bangun sisa tersebut mendapat keleluasaan penundaan membayar uang wajib tahunan Otorita (UWTO).
  4. Pembangunan fisik paling lama 4 tahun.
  5. Berhak memasarkan lahan siap bangun sisa kepada investor dalam jangka waktu 4 tahun.
  6. Bersama Otorita memasarkan lahan siap bangun kepada investor.

Kewajiban PT Repindo:

  1. Membuat penyesuaian pengembangan wilayah Tanjung Uma sesuai dengan rencana induk.
  2. Mengembangkan dan membangun infrastruktur (pematangan lahan/lahan, pembuatan batu miring (rip-rap), pembuatan saluran air, jalan, trotoar, dan penghijauan) serta pembangunan kampung nelayan berikut fasilitas pendukungnya.
  3. Menyediakan dana untuk tujuan perjanjian ini.
  4. Menyediakan tenaga ahli perencana, ahli bangunan, tenaga kerja buruh, peralatan dengan bahan dan metode pengerjaan sesuai dengan petunjuk Otorita.
  5. Melaksanakan sendiri dan atau atas risiko dan tanggung jawab pihak kedua.
  6. Membantu memasarkan lahan siap bangun.
  7. Membuat laporan perkembangan kemajuan pekerjaan.
  8. Jika ingin mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus seizin Otorita.

26 September 1996 (Addendum I)

Kedua belah pihak sepakat menghapus/mengubah beberapa pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan, penyerahan kapling, dan soal denda atas keterlambatan penyerahan lahan dari pihak kedua kepada pihak pertama.

10 September 2003 (Addendum II)

  1. Salah satu perubahan penting dalam addendum ini adalah permohonan PT Repindo untuk mengalihkan semua hak dan kewajibannya kepada PT Ekamas. Dalam perjanjian ini PT Ekamas diwakili Cosmas Batubara (direktur utama) dan Harry R. Sudarsono (Komisaris PT Repindo).
  2. Kawasan Tanjung Uma dibagi menjadi dua: Areal I (seluas 218 hektare) dan II (seluas 143 hektare).

Hak PT Ekamas

  1. Memperoleh pembayaran atas penyiapan lahan siap bangun dan biaya pembangunan infrastruktur.
  2. Mendapat penundaan pembayaran UWTO.
  3. Khusus untuk Areal II, biaya pembangunan infrastruktur sesuai dengan harga pasar.
  4. Seluruh kewajiban pihak kedua akan dibebaskan dari kewajiban membayar UWTO terbatas pada lahan yang digunakan untuk sarana/prasarana fasum.

Kewajiban PT Ekamas

  1. Memenuhi dan terikat pada syarat pengalokasian lahan serta tarif UWTO yang ditetapkan Otorita.
  2. Membayar UWTO untuk kampung nelayan dengan tarif rumah sederhana.
  3. Wajib menyelesaikan pembangunan infrastruktur Areal I paling lambat 18 bulan sejak ditandatanganinya Addendum II.
  4. Seluruh biaya dan pajak yang timbul menjadi tanggung jawab pihak II.
  5. Menjamin adanya akses jalan yang memadai, aliran listrik, saluran air bersih, saluran pembuangan air kotor, dan sambungan telepon pada lahan siap bangun parsial.
  6. Melakukan pembebasan lahan.

Tanjung Uma Kini

  1. Jalanan aspal geripis.
  2. Jalan aspal tak pernah menyentuh pelabuhan.
  3. Sejak dibangun pada 1997, jalan yang membelah Bukit Tanjung Uma tak pernah rampung.
  4. Di banyak ruas, jalanan melesak, melengkung, dan retak.
  5. Ratusan rumah liar memenuhi perbukitan.
  6. Jalan yang menghubungkan antarzona masih banyak dari tanah.
  7. Kawasan pelabuhan masih kumuh.

Sumber: dokumen-dokumen perjanjian, reportase

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus