maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

PDI Perjuangan

Nama Baik Proklamator Terpulihkan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 dicabut. 

arsip tempo : 172670882423.

Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri menghadiri silaturahmi kebangsaan dan penyerahan surat Pimpinan MPR kepada keluarga Bung Karno tentang tidak berlakunya lagi TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 di Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Senin, 9 September 2024. Dok. PDI Perjuangan.. tempo : 172670882423.

Guntur Soekarnoputra mengucapkan terima kasih kepada pimpinan MPR yang menyatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. Dengan begitu, nama baik Presiden Sukarno, sang proklamator kemerdekaan, dapat dipulihkan.

Menurut Guntur, keluarga besar dan rakyat Indonesia yang mencintai Bung Karno menginginkan nama Presiden pertama RI tersebut direhabilitasi dari tuduhan pengkhianat bangsa. “Keinginan pemulihan nama baik ini bukan hanya bagi Bung Karno, tetapi yang lebih besar dari itu semua adalah kepentingan pembangunan mental dan karakter bangsa, khususnya generasi penerus,” ujar Guntur di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Senin, 9 September 2024.

Guntur menjelaskan, keluarga besar Sukarno sudah menunggu selama 57 tahun 6 bulan demi pembersihan ini. Mereka menanti sikap perikemanusiaan dan keadilan bagi Soekarno, sesuai dengan yang tertuang dalam Pancasila. Dia menyesalkan Bung Karno harus menerima tuduhan dan menjalani hukuman tanpa proses peradilan apapun. Tindakan tersebut, kata Guntur, bukan saja tidak berperikemanusiaan, tetapi di luar akal sehat. 

Guntur melanjutkan, perbuatan tersebut merupakan tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan apa pun. Dia menyebut tuduhan itu memberikan luka yang sangat mendalam bagi keluarga besar dan rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis, yang mencintai Bung Karno sampai ke akhir zaman.

“Bagi kami sekeluarga, utamanya putra-putri Bung Karno yang mengetahui secara pasti bagaimana perjuangan dan pengorbanan ayah kami untuk rakyat, bangsa, dan negaranya, tuduhan tersebut sangatlah tidak masuk akal,” katanya. “Namun demikian, kami sekeluarga telah bersepakat tidak akan mempersoalkan, apalagi menuntut ketidakadilan di muka hukum terhadap apa yang pernah dialami Bung Karno pada saat ini.”

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham, Supratman Andi Agtas mengatakan tuduhan keterlibatan Sukarno dengan gerakan pemberontakan PKI pada pengujung September 1965 itu tidak terbukti setelah TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 dicabut. Selain menghapus tuduhan terhadap Bung Karno, pencabutan TAP MPRS Nomor 33 ini juga sebagai penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator.

“Tuduhan-tuduhan dalam TAP MPRS tersebut yang ditujukan kepada Sang Proklamator, yakni Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia telah gugur dan dinyatakan tidak terbukti,” kata Supratman. TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 bermula dari peristiwa G30S/PKI yang memicu ketidakpercayaan terhadap Presiden Sukarno karena dianggap dekat dengan PKI. Ketidakpuasan rakyat semakin memuncak akibat kondisi ekonomi yang buruk dan ketidakpuasan terhadap penanganan pasca-G30S.

Pada 11 Maret 1966, Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberi Suharto wewenang luas dan memperkuat posisinya di pemerintahan. Kekuasaan Suharto semakin kokoh ketika Sukarno menyerahkan kekuasaan pada 22 Februari 1967. Pidato Sukarno juga tidak membuat MPRS merasa puas dengan pertanggungjawabannya terkait G30S/PKI. Sukarno dinyatakan gagal memenuhi ketentuan konstitusional. Situasi ini memuncak pada Sidang Istimewa MPRS pada 7-12 Maret 1967 yang menghasilkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yang secara resmi mencabut mandat Sukarno dan mengukuhkan Soeharto sebagai pemimpin saat itu. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 15 September 2024

  • 8 September 2024

  • 1 September 2024

  • 25 Agustus 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan