Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hari-hari Pembebasan Konglomerat

Keputusan final masalah PKPS akan diambil pekan ini. Keinginan BPPN memberi kelonggaran kepada pengutang kakap tak terbendung?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KWIK Kian Gie pergi mengaso. Akhir pekan lalu, Menteri Negara Pe-rencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu terbang ke negeri jiran, Singapura. Ia mengantar istrinya melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Untuk Kwik sendiri, ini kesempatan melepaskan diri dari kepadatan kerja. Belakangan ini, hari-harinya sungguh melelahkan. Sudah dua pekan ini Kwik berjuang mempertahankan pendiriannya agar para pengutang kakap—ia menyebutnya ”maling”—tidak dimaafkan. Sebenarnya bukan sekali ini saja Kwik berbeda pendapat dengan koleganya di kabinet. Tapi, Kamis dua pekan lampau dalam pertemuan di rumah Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, Kwik ”bertempur” sendirian menahan gelombang keinginan empat menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang berencana memberi kelonggaran utang kepada para obligor kakap. Ringkasnya, sesuai dengan Keputusan KKSK tanggal 22 Agustus dan 7 Oktober 2002, pemerintah beritikad menuntaskan penyelesaian urusan piutang dengan para pengutang di BPPN yang sudah terkatung-katung selama empat tahun. Dari tiga cara penyelesaian utang-piutang, dua kelompok mendapat keringanan. Kepada para pengutang penanda tangan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), pemerintah berjanji memberikan surat pelepasan dari segala tuntutan hukum (release and discharge) bila mereka memenuhi seluruh kewajibannya sesuai dengan keputusan sidang kabinet. Sedangkan kepada obligor penanda tangan APU (akta pengakuan utang), ada tawaran kebijakan memotong suku bunga, yang di puncak masa krisis mencapai 60 persen. Dengan kebijakan baru itu obligor terbebas dari pembayaran bunga setelah banknya dibekukan, termasuk tunggakan bunga dan denda setelah menandatangani perjanjian. Beban bunga atas pokok utang selanjutnya? Akan dihitung kembali dengan menggunakan acuan suku bunga yang sama dengan kebijakan restrukturisasi utang debitor di Divisi Aset Manajemen Kredit BPPN. Berapa besarnya? Sekitar 18 persen, kata Ketua BPPN Syafruddin Temenggung, mantap. Jauh sekali dari bunga semula. ”Jika penghitungan kembali tak dilakukan, tak ada satu pun obligor yang mau membayar utang,” ujar Ketua BPPN yang giat mempercepat penyelesaian kewajiban pemegang saham para pengutang itu. Pembenaran ini tak bisa diterima oleh Lin Che Wei. Analis pasar modal itu lalu mengingatkan kembali situasi di tahun 1998 ketika pemerintah menerapkan program penjaminan atas simpanan nasabah di bank (blanket guarantee), padahal ketika itu suku bunga simpanan sedang tinggi-tingginya. Saat itu pemerintah tak meneliti siapa saja sesungguhnya para nasabah bank itu. Nah, sesuai dengan data penelitian yang sedang dikerjakannya, Lin Che Wei menemukan bahwa para pemegang deposito yang dijamin pemerintah dan menikmati suku bunga tinggi itu ternyata orang yang itu-itu juga. ”Mereka kebanyakan pemilik bank yang mendapat kucuran BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) atau melanggar BMPK (batas maksimum pemberian kredit),” ujarnya. Jadi, kata Lin Che Wei, sangat tidak adil bila mereka—sebagai debitor—menolak membayar bunga tinggi karena sesungguhnya pada saat itu mereka, sebagai nasabah bank, sudah menikmati suku bunga tinggi. Sikap lembek seperti tecermin dalam rekomendasi KKSK itu jugalah yang membuat Kwik berang. Menurut dia, release and discharge tak layak diberikan kepada para pengutang besar BPPN. ”Sesuai dengan Undang-Undang Perbankan, pelanggar BMPK harus dipenjara,” ujar Kwik. Pendirian keras itulah yang berbenturan dengan sikap anggota KKSK lainnya dalam pertemuan Kamis dua pekan lampau tersebut. Pertemuan itu sendiri belakangan menimbulkan silang pendapat di antara peserta pertemuan, terutama antara Kwik dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Menurut Laks, dalam acara itu Presiden telah menyetujui sebagian besar rekomendasi KKSK. Itu artinya keputusan untuk membebaskan para pengutang tersebut sudah resmi karena, kata Laks, diambil dalam pertemuan yang merupakan ”sidang kabinet terbatas bidang ekonomi”. Dukungan terhadap pendapat Laks datang dari kantor Menteri Koordinator Perekonomian/Ketua KKSK Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Pertemuan di Teuku Umar itu, menurut staf ahli Menko Perekonomian Mahendra Siregar, memang diminta oleh Dorodjatun. ”Pak Djatun menulis surat awal Oktober lalu, meminta diadakannya sidang kabinet terbatas untuk membahas keputusan KKSK,” ujar Mahendra. Bahwa pertemuan baru bisa diadakan tanggal 7 November lalu, itu karena terganjal berbagai kegiatan presiden lainnya. Sebaliknya, bagi Kwik, pertemuan itu sendiri bukanlah sebuah sidang kabinet yang tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Senin pekan lalu, ia melayangkan surat ke presiden, wakil presiden, dan media massa untuk mempertanyakan sah-tidaknya rapat tersebut. Garibaldi Sujatmiko, Kepala Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden, memberi jawaban. ”Saya bisa tegaskan pertemuan itu bukan sidang kabinet,” katanya kepada Dwi Wiyana dari Tempo News Room. Alasannya, sidang kabinet lazimnya memakai undangan yang ditujukan kepada para menteri dan instansi terkait. Hal yang tak ada dalam pertemuan Kamis malam itu. Seorang sumber TEMPO yang dekat dengan keluarga Presiden juga menganggap pertemuan itu tak masuk dalam kategori sidang kabinet. Bukan sekali ini saja Presiden memanggil para pembantunya ke kediaman di Teuku Umar untuk mencari masukan. Jadi, apa status pertemuan itu? Sekretaris KKSK Lukita D. Tuwo, yang hadir dalam pertemuan itu, tak mau terjebak dalam perdebatan tersebut. Ia lebih menekankan pada substansi pembicaraan yang menurut dia belum bersifat final. Lukita mengabarkan pekan ini barulah akan digelar sidang kabinet untuk membahas nasib para obligor BPPN tersebut. Apakah ini sidang kabinet yang sesungguhnya? Mudah-mudahan begitu. Menariknya, Lukita mengisyaratkan, ”Belum tentu keputusan rapat kabinet akan sama dengan apa yang sudah dibicarakan orang selama ini.” Isyarat Lukita ini terasa menggelitik. Mungkinkah pemerintah akhirnya memilih penyelesaian utang yang lebih tegas terhadap para pengutang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat? Lagi pula, sesuai dengan pendapat hukum anggota Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH), Kartini Muljadi, yang diperoleh TEMPO, keputusan KKSK itu bertentangan dengan Tap MPR X/2001, Undang-Undang Propenas, dan Keputusan KKSK No. 02/2002. Ketiga payung hukum itu telah menyiratkan perlunya pemerintah bersikap tegas kepada pengutang yang cedera janji. Juga meminta Menteri Negara BUMN dan BPPN mengambil langkah yang maksimal guna mengamankan aset-aset yang terkait dengan PKPS (MSAA, MRNIA, dan APU) untuk menurunkan beban utang negara secara berarti serta meningkatkan penerimaan negara. Meski begitu, BPPN merasa tak ada yang salah dengan tindakannya. Dengar saja pendapat Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, ”Kebijakan BPPN telah sesuai dengan koridor yang dibuat dalam sidang kabinet tanggal 7 Maret 2002 lalu.” Tampaknya, harapan akan munculnya sikap tegas itu mungkin terlalu muluk. Sudah jadi rahasia umum bahwa BPPN sejak awal cenderung menginginkan penyelesaian utang dengan para obligor secara damai. Para pejabat BPPN enggan menggunakan jalur hukum untuk menagih utang konglomerat. Hal ini makin dipertegas ketika Ketua BPPN Syafruddin bertemu para pengutang besar itu di Bali, dua pekan lalu. Rekomendasi TPBH dan Komite Pemantau untuk mengambil alih dan mengikat aset obligor tak pernah mereka indahkan. Apalagi untuk memailitkan, melakukan paksa badan (gijzeling), melakukan tuntutan tindak pidana korupsi, serta menerapkan cegah tangkal (cekal). Agen penyehatan perbankan itu lebih menyukai penyelesaian utang secara komersial. Hal itu terlihat dari tindakan BPPN menarik kembali 1.428 kasus yang sudah masuk proses litigasi untuk diselesaikan secara ”kekeluargaan”. Bahkan seorang pejabat BPPN pernah menuturkan, ”Apakah tidak lebih baik bila piutang BPPN kepada para obligor dijual saja seperti aset kredit?” Ini mengagetkan. Sudah jelas tak ada peminat yang mau membeli piutang itu kecuali si obligor sendiri. Bila pemerintah bersikap lembek dan terus mengalah seperti itu, Lin Che Wei khawatir akan terjadi kerusakan moral di kalangan pengusaha. Mereka akan mengulang perilaku yang sama bila kelak terjadi masalah serupa. Karena itu, agar kerusakan moral tak bertambah parah, ia mengusulkan pemerintah tetap menggunakan pendekatan hukum, misalnya dengan cara paksa badan. Dengan cara itu, konglomerat yang bandel tak mau membayar utang dipaksa masuk bui sampai bersedia membayar utangnya. Katanya, ”Itulah satu-satunya cara untuk membuat konglomerat kapok.” Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, Levi Silalahi, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus