Ijon pensiun
Sistem ijon atau praktek gadai tak resmi menimpa para pensiunan di semarang dan jakarta. bunga pinjaman sekitar 20% per bulan. kredit resmi dari bapemil maupun bri kurang menarik.

SETIAP bulan, tanggal 5, 6 dan 7, di Semarang muncul "pasar
tiban", pasar mendadak. Persisnya di Kantor Kas Bendahara Negara
(KBN) depan Kantor Pos Besar jalan Pemuda. Sejumlah pedagang
kecil berjubel: pedagang makanan dan minuman, obat-obatan,
barang kelontong, tukang parkir sepeda yang resmi dan yang
tidak. Di belakang mereka, di kakilima tanpa peneduh, sejumlah
wanita duduk mengelompok, sibuk menulisi buku besar sambil
mengumpulkan beberapa buku pengambilan uang pensiun berwarna
biru, merah dan kuning. Yang biru untuk mengambil pensiun hari
pertarna, disusul warna merah dan kuning untuk hari kedua dan
ketiga.
Di jalur hijau itulah, selama 3 hari wanita-wanita itu
"berkantor". Mereka adalah tukang kredit yang siap meminjamkan
uang kepada para pensiunan. Rupanya sistim ijon tidak hanya
dikenal di kalangan petani. Para pensiunan pun sering diijon
jika mereka membutuhkan pinjaman uang tunai. Bagaimanapun,
praktek gadai tak resmi ini tampaknya akan jalan terus. Sebab,
seperti kata seorang pensiunan ABRI yang keluar dari KBN
Semarang kepada pembantu TEMPO Metese Mulyono: "Mau pinjam di
bank terlalu banyak aturannya, harus ke sana ke mari mencari
syarat-syaratnya. Lebih mudah pinjam kepada mereka. Habis, saya
butuh uang".
Kurang Semangat
Caranya begini: Pensiunan yang menerima Rp 20.000 bisa pinjam Rp
16.000. Pengambilan uang bulan berikutnya, yang berarti
pembayaran pinjaman, dilakukan langsung oleh kreditor di loket
KBN. Dan si pensiunan tinggal tanda tangan saja. Cara ini
berjalan lancar, sebab sudah ada pengertian antara peminjam,
kreditor dan petugas loket. Kalau tak mau pinjam cara begitu,
bisa pula lewat yang "resmi". Misalnya di Bank Pensiunan Militer
(Bapemil).
Apakah bunganya lebih ringan dari sistim ijon di luar,
tergantung dari pengertian kedua belah fihak. Seorang pensiunan
Peltu Angkatan Darat tampak kurang bersemangat antri mengambil
uang pensiunnya, sebab yang akan diterima tinggal Rp 5 ribu
saja. "Saya sudah pinjam Rp 50 ribu, setiap bulan dipotong Rp 13
ribu untuk 5 bulan. Padahal pensiun saya cuma Rp 18 ribu",
katanya. "Nanti kalau sudah lunas, baru pinjam lagi".
Melihat perbandingan bunganya, sesungguhnya sama-sama mencekik
leher. Cuma sistim ijon yang di luaran lebih laku, sebab tanpa
prosedur berbelit-belit. Bagaimana pun, yang enak toh para
petugas KBN. Mereka mendapat komisi dari kedua belah fihak tanpa
mengurangi tugasnya sebagai pegawai negeri. Kalaupun terjadi
pelanggaran ketentuan yang resmi, misalnya pengambilan uang
pensiun sebelum waktunya, tampaknya bukan semata-mata kesalahan
mereka. "Kami tak sampai hati menolak pensiunan yang menunggu
satu dua hari dan ingin lebih cepat menerima uang sebelum
waktunya", kata salall seorang petugas.
Di KBN Jalan Budi Utomo Jakarta, pinjaman uang kontan secara
resmi lewat orang dalam tidak ada. "Yang ada pinjaman luar",
kata seorang pensiunan AD berpangkat Serma. Ia penjaga keamanan
di sana. Caranya dengan menyerahkan buku penerimaan pensiun
berikut surat beslit. "Kalau saudara pinjam Rp 100 ribu, setiap
bulan harus membayar bunga Rp 20 ribu atau 20%, katanya. Sang
kreditor luar itu meski sudah memegang Buku Penerima Pensiun,
masih ragu-ragu kalau tidak disertai Beslit sekaligus, yang juga
berfungsi untuk mengambil uang pensiun.
Serahkan Beslit
Sebab kalau Buku penerimaan pensiun hilang, KBN masih bisa
menggantinya dengan yang baru. Tapi kalau si pensiunan pindah
tempat, buku itu tak lagi berlaku. Dan si kreditor tak berani
menggugat, takut dituduh sebagai gadai gelap alias lintah darat.
"Kalau saudara mau pinjam uang, bawalah buku itu berikut
beslit". Saudara bisa menerima uang kontan tanpa potongan.
Setiap bulan, pada saat mengambil uang pensiun, kreditor sudah
siap menunggu di sini. Setelah uang pensiun diambil, bunga dan
bukunya diserahkan lagi kepada kreditor", tuturnya.
Praktek Bapemil Jakarta tak jauh berbeda dengan Bapemil
Semarang. "Kalau saudara pinjam Rp 100 ribu, saudara tidak akan
menerima lengkap. Tapi kalau pinjam pada kreditor luar jumlah
yang dikehendaki akan diterima saat itu juga tanpa potongan,
sedang bunganya disetor tiap bulan berikutnya" tambahnya. Selain
bunga 20%, pinjaman pun bisa dicicil berapa saja. Bunga
berikutnya disesuaikan dengan jumlah sisa pinjaman, tapi tetap
20%. "Saya ini hanya perantara saja, menanggung jangan sampai
buku penerimaan pensiun dan beslit hilang", katanya. Dan untuk
pekerjaan itu, tentu saja ia mendapat imbalan ala kadarnya dari
kedua belah fihak.
Tentang pinjam-meminjam ini, ada keterangan lain dari Pengurus
Besar Persatuan Wredatama RI (PB PWRI) di jalan Gondangdia Lama,
Jakarta. Khusus pensiunan pegawai negeri, sejak I Oktober 1976
bisa meminjam uang dengan "menggadaikan" Surat Keputusan Pensiun
kepada BRI. Ini berdasarkan SK Menteri Keuangan 3 Oktober 1975.
"Tapi sistim ini kurang menarik", kata salah seorang staf PB
PWRI. Sebab selain syaratnya berliku-liku, ada pula ketentuan
tentang usia.
Yang berusia di bawah 59 tahun, bisa melunasi pinjaman selama
12 bulan dengan angsuran bulanan setinggi-tingginya 25% dari
pensiun bersih. Yang lebih tua, tak diberi kesempatan seluas
itu. Yang berusia 60-62 (10 bulan) 63-65 (8 bulan), 66-68 (6
bulan), 69-71 (4 bulan) dan 72 ke atas (2 bulan). Ketentuan ini,
barangkali karena khawatir si peminjam keburu meninggal dan tak
punya waktu lagi mengembalikan pinjaman.
Pensiunan yang berusia 72 tahun misalnya, yang menerima pensiun
Rp 20.000, hanya bisa pinjam Rp 10.000 dan harus lunas selama 2
bulan. Bunga 24% setahun dan provisi 1% dari pokok pinjaman
harus dibayar sekaligus pada saat kredit ditanda-tangani. Dalam
ketentuan BRI belum disinggung soal pemberian pinjaman kepada
pensiunan bekas pegawai Daerah Otonom, meskipun dalam pasal 30
UU No. 11/1969 tidak ada perbedaan antara pensiunan bekas
pegawai negeri dan pegawai negeri daerah otonom.