Gelar
Gelar, yang dianggap simbol pengakuan, sebenarnya tak sepenuhnya bersifat dialogis. Gelar ditentukan setelah ada otoritas untuk menilai prestasi seseorang. Perlu ada hakim yang sabdanya tak untuk diragukan: universitas, istana, atau ketua adat.

BEBERAPA puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah indekosan yang penuh di Semarang, ada dialog begini:
T: “Dik, siapa yang di kamar mandi, ya? Kok, lama.”
J: “Doktorandus, Mas....”
Nama tampaknya bisa diabaikan, tapi gelar tidak. Tentu saja waktu itu gelar “doktorandus” atau “doktoranda” masih punya nilai, baik untuk cari kerja maupun cari jodoh, dan sebab itu dipasang di mana-mana. Inflasi itu pel
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini