maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Edisi Senin, 21 September 2015

Setelah lima cangkir berisi teh dihidangkan, Amrus Natalsya membawakan puisi "Warna dan Mata" sembari duduk. Puisi ini mengenang tragedi Mei 1998. Ia baru saja meluncurkan buku. Judulnya Kumpulan Puisi-puisi Amrus Natalsya. "Saya menulisnya dari 2012 hingga 2014," ujar Amrus di galerinya, Jalan Mayjen H.E. Sukma, Cigombong, Lido, Bogor, Selasa awal September lalu. Bukunya setebal 572 halaman.

Heru Triyono, Aisha Saidra, dan fotografer Frannoto dari Tempo mendengarkan pria 82 tahun itu membacakan salah satu puisinya tersebut sebelum wawancara digelar di ruang kerjanya selebar 3 x 3 meter, di belakang bangunan galeri—bersebelahan dengan makam istri pertamanya, Prayati, dan makam anaknya, Ananta Putra. "Ini patung rumah susun yang sedang saya kerjakan," kata Amrus memamerkan karya patung barunya dari kayu nangka.

Dia hampir botak, dengan petak-petak rambut putih menipis. Dengan suara parau, ia berkelakar tentang penyakit yang dideritanya, yakni kanker usus. "Dokter bilang tak ada gunanya dioperasi, mungkin enggak mau rumah sakitnya sebagai tempat seorang komunis meninggal," ujarnya menahan sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

Amrus adalah perupa realis revolusioner yang suka mengangkat kehidupan masyarakat bawah. Ia mendapat pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada 1962, bersama teman dari ASRI—Isa Hasanda, Misbach Tamrin, dan Djoko Pekik—Amrus mendirikan Sanggar Bumi Tarung, yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta.

Patung pertama buatannya berjudul Orang Buta yang Terlupakan mencuri perhatian. Saat kegiatan lustrum pertama ASRI pada 1955, di gedung Sono Budoyo, Yogyakarta, Presiden Sukarno yang hadir membeli patung itu. Karya lain yang menjadi koleksi Sukarno bertajuk Kawan-kawanku.

Pada akhir 1990-an, Amrus melahirkan karya fenomenal berjudul Pecinan, dalam bentuk cukil kayu, yang menjadi cirinya. Namanya harum setelah Wali Kota Jeddah pada 1970-1980-an, Mohammed Said Farsi, meminta dia membuatkan lima buah kaligrafi kayu berlafazkan Allahu Akbar di Jeddah, Arab Saudi. Farsi merupakan kolektor seni ternama yang membuat Jeddah sebagai kota galeri seni dunia.

Percakapan kami berlangsung tiga jam dengan suara berisik burung cucakrowo dan kenari sebagai latar belakang. Amrus berbicara perlahan dan kadang terdiam untuk menempatkan tangannya di dahi mencari detail yang terlupakan. Didampingi Misbach Tamrin, ia banyak bercerita mengenai Sanggar Bumi Tarung, apa yang dialaminya sebagai seorang komunis, dan bagaimana dia mempertahankan harapannya selama di penjara. "Semoga ada yang bisa dikenang dari saya untuk generasi selanjutnya," katanya.

Baca Selengkapnya

Memoar di Edisi Lainnya

Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan