maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Catatan Pinggir di Edisi Lainnya

Edisi Sabtu, 16 Januari 1988

Di zaman dahulu orang asia tenggara memperoleh modal dengan menggadaikan diri atau keluarga. utang merupakan kepercayaan kreditor dan debitor. perlu aturan dan lembaga kuat untuk stabilitas.is utang adalah bagian penting dari sejarah. "tak ada pusat perdagangan di dunia ini di mana bisnis tak dijalankan dengan uang pinjaman. tak ada seorang bisnis pun agaknya yang tak punya keharusan mendatangi kocek orang lain." itu katakata turgot, ahli ekonomi dari prancis yang terkemuka di abad ke-18. dan kita tahu, apa yang dimaksudkannya juga bisa berlaku buat masa kini. tapi tak semua orang nampaknya menyadari itu. tak semua orang, khususnya di indonesia, punya persepsi seperti turgot, yang tumbuh dan sejarah debit-kredit yang telah berabad-abad. wir, kenalan saya, misalnya, manajer keuangan sebuah perusahaan, menolak buat berutang. dia takut harus bayar bunga, dia takut kena sita bila tak bisa memenuhi cicilan, dia takut berutang budi dan malu dan dia takut sakit jantung memikirkan semua itu. pengecut dan konyol, kata sebagian orang mendengar alasan itu. bukankah si wir seraya ia tak mau ambil utang dari orang lain - sebaliknya tak bisa menghindarkan orang lain berutang kepadanya? bukankah para agen, yang mengedarkan produknya, tak hendak membayarnya kontan? kenapa ia hendak berutang? betapa bodoh. apa dia tak tahu bahwa pembukuannya juga harus dihitung dengan basis accrual? dalam dunia bisnis, kata orang, inilah hukum kelihaian pertama: pada saat orang bisa berutang kepadamu, kamu harus pula bisa berutang kepada orang lain. bahkan modal sejati seorang pengusaha adalah ide, tekad dan kemampuan berusaha, plus sejumlah uang yang bukan punya sendiri. tapi wir, teman saya itu, memang bukan pemberani. ia seorang. indonesia biasa, yang, seperti kebanyakan orang indonesia, menyimpan banyak ingatan suram tentang sukses yang gagal, keberhasilan yang mendadak runtuh, atau kenestapaan yang panjang. di waktu kecil ia hidup di scbuah dusun, dan ia melihat apa artinya utang: pak.rejo yang sawahnya sudah dihadang oleh pengijon. pariyem yang ikut megap-megap, dan akhirnya jadi pelacur, karena bapaknya pinjam uang dari rentenir. atau para tetangga lain, yang gelang dan giwangnya tak kunjung tertebus dari rumah gadai. ketakutan pada utang adalah ketakutan yang purba, rasa was-was dari sebuah zaman "pra-bisnis". mungkin juga akarnya sebuah trauma yang setengah tersembunyi jayh dalam kesadaran kolektif kita: di masa lalu di indonesia, seperti halnya di beberapa negeri lain di asia tenggara, memang ada hubungan yang erat antara peminjaman uang dan hilangnya kemerdekaan. utang pada gilirannya akan berakibat dalam ikatan pasungan, bondage, perbudakan. setidaknya itulah cerita para sejarawan yang menulis dalam sebuah buku yang ama menarik yang terbit di tahun 1983, slavery bondge dependency in sontheast asia. satu kenyataan yang diungkapkan di sana adalah bahwa di zaman lampau, cara lazim bagi orang di asia tenggara untuk dapat memperoleh modal ialah dengan menggadaikan diri. atau, kalau tidak, menggadaikan anggota keluarga yarg ditanggungnya. "bila orang yang merdeka empunya banyak utang di sini dan di sana", demikian termaktub dalam aturan orang kutai yang dikutip oleh sejarawan a. reid dari satu jilid adtrechtsbundels, "maka orang itu dijual dan hasil penjualannya dibagi-bagi". seorang asing di abad ke-17 melihat banten dan ia, yang agaknya terkejut, juga kemudian menulis, bahwa di negeri itu, "seorang pemberi utang boleh mengambil orang yang berutang, juga isterinya, anaknya, budaknya dan semua yang dimilikinya, untuk dijual guna membayar kembali pinjamannya." masa lampau memang sering menakutkan -- khususnya bila dilihat di masa kini. masa lampau juga ternyata tak mudah punah dari bawah sadar kita meskipun semua itu praktis kini tak ada lain: utang, bagi kita, tetap saja sebuah mimpi buruk bertahun-tahun. atau kalau tidak, bagi kita, yang terbiasa dengan hubungan pribadi dengan pribadi, utang masih semacam budi baik orang yang lebih mampu kepada yang kurang mampu. kata-kata "iou" masih terasa berat dengan beban moral. utang masih belum dianggap sebagai sekedar pembayaran yang ditunda -- yang bisa menguntungkan, baik bagi si pemberi utang maupun bagi si penerima. asal ada pegangan yang bisa dipercaya. utang, buat sang kreditor dan sang debitor, memang mengandung sebuah kepercayaan, bukan cuma kepada satu sama lain tapi kepada masa depan: bahwa masa depan adalah waktu, yang bisa diukur dan diandalkan. utang juga mengandung sebuah kepercayaan kepada aturan-aturan yang selalu akan ditaati, bahwa kesewenang-wenangan tak akan terjadi. tapi kita mungkin belum terbiasa dengan semua itu. sejarah kita penuh dengan keretakan dan guncangan. kita cenderung melihat perjalanan waktu sebagai sesuatu yang terpotong dan terpisah-pisah, bukan sesuatu yang satu dan kontinyu. kita mulai merasakan manfaatnya apa ymg disebut "stabilitas" baru dalam kurun waktu dua dasawarsa - terlampau pendek buat untuk terbentuknya sebuah persepsi lain tentang waktu dan sementara itu kita masih belum tahu apa arti stabilitas yang sebenarnya: kita masih memerlukan hukum yang tidak plintat ke sana dan plintut kemari dari hari ke hari, kita masih memerlukan atunn dan lembaga yang tak goyah, kita masih memerlukan semacam rasa tenteram, sebuah basis untuk menghitung kemungkinan yang akan datang. dengan singkat, kita masih perlu dasar, agar tidak waswas berbicara tentang satu soal yang normal dalam sejarah itu: utang. goewan mohamad

Baca Selengkapnya

Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan