Satu Takhta, Dua Raja

Di Cirebon, satu kota tua di pesisir utara Pulau Jawa, empat keraton (Kanoman, Kacirebonan, Keprabonan, dan Kasepuhan) lahir dari puak Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, sejak lima abad silam. Dan Kanoman boleh dikatakan keraton dengan sejarah perebutan takhta paling mendidih di era Cirebon modern. Selepas mangkatnya Sultan Kanoman XI Muhammad Djalaludin pada 18 November 2002, kedua putranya, Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Muhammad Saladin, bertikai memperebutkan kekuasaan.

Di ambang Festival Keraton Nusantara IV (akan dilangsungkan di Yogyakarta menjelang akhir September), mingguan ini menurunkan laporan wartawan TEMPO, Ali Anwar, yang selama sepekan lebih memasuki Keraton Kanoman dan memotret berbagai intrik di balik kisah perebutan takhta yang memanas sejak setahun silam sampai sekarang. Mengapa Kanoman seperti mengulang kembali kisah perebutan mahkota pada 130 tahun silam?

Berikut ini laporannya….

Senin, 6 September 2004

Perangkat gamelan itu tiba-tiba membisu setelah sepuluh bulan lebih mengalun. Tak ada lagi deretan penabuh yang bersila berjam-jam untuk berlatih. Tak ada lagi putra-putri istana yang menarikan tari bedaya, panglima, dan wayang dengan iringan musik gamelan—membuat Keraton Kanoman kehilangan rona. Seyogianya, Agustus lalu menjadi puncak geladi bersih tim kesenian Keraton Kanoman, yang sedianya ikut meramaikan Festival Keraton Nusantara (FKN) IV

...

Berita Lainnya