Operasi Memoles Citra Jokowi

Jokowi seperti raja yang ogah kehilangan mahkota. Menjelang pensiun masih memoles citra diri.

Tempo

Minggu, 13 Oktober 2024

HARI-HARI ini Anda mungkin terpapar konten media sosial, pidato menteri, atau berita yang memuji program dan kebijakan Presiden Joko Widodo. Menjelang 20 Oktober 2024, hari pensiun Jokowi setelah dua periode menjadi presiden, ada operasi masif kantor kepresidenan dan kementerian memoles citranya.

Setelah Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden yang menggantikannya, Jokowi akan pulang ke Kota Solo dan disambut 400 ribu relawan—76 persen penduduk kota itu. Baliho besar yang menampilkan foto Jokowi dan istrinya dengan tulisan “guru bangsa” telah dipasang di dekat rumah pensiunnya di Karanganyar.

Para menteri, dalam pidato ataupun wawancara media, memuji Jokowi sebagai presiden yang berhasil dalam program ekonomi. Di harian Kompas, Menteri Keuangan Sri Mulyani menceritakan kinerja moncer Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melayani proyek-proyek infrastruktur besar. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memuji Jokowi sebagai presiden terbaik karena membuat neraca perdagangan surplus selama 52 bulan.

Memuji diri sendiri merupakan wujud rasa tidak percaya diri. Apalagi jika narsisisme itu menjadi bahan kampanye memakai anggaran negara. Sudah menjadi tugas dan mandat konstitusi pemerintah membangun infrastruktur, menjaga pertumbuhan ekonomi, mendorong neraca perdagangan surplus. Tak perlu puja-puji untuk melegitimasinya.

Faktanya, di masa Jokowi, ekonomi hanya tumbuh 4,2 persen, jauh di bawah target 7 persen, bahkan di bawah sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang rata-rata 6 persen. Di masa Jokowi pula jumlah kelas menengah turun dari 21 persen menjadi 17 persen akibat maraknya pemutusan hubungan kerja. Surplus neraca perdagangan yang dibanggakan Zulkifli Hasan hanya menyumbang 0,66 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Proyek-proyek infrastruktur Jokowi meninggalkan gunungan utang. Badan usaha milik negara bangkrut karena ditugasi mengerjakan proyek-proyek mercusuar. Proyek penghiliran tambang dan mineral mentok pada pembangunan smelter yang menguntungkan Cina sebagai penampung terbesar produk pemurnian mineral. Di dalam negeri, limpahan sumber daya alam itu tak mendorong industri turunan atau inovasi yang memberikan nilai tambah besar.

Semua masalah itu kini sedang dipoles untuk menunjukkan keberhasilan Jokowi. Dengan uang negara, para pejabat membuat kampanye yang menyangkal fakta-fakta kemunduran demokrasi, kemandekan ekonomi, serta cawe-cawe Jokowi dalam pemilihan umum dengan mengakali hukum dan merusak tata negara. Penggiringan opini publik semacam ini adalah kejahatan.

Pengelabuan itu akan menjadi modal Jokowi memelihara popularitas setelah pensiun. Sebagai politikus yang tak memimpin partai, Jokowi menjadikan relawan dan popularitas sebagai senjata agar tetap relevan dalam percaturan politik. Jokowi akan menjadikan kekuatan massa untuk mencegah penguasa baru menyoal kebijakan-kebijakannya di masa lalu.

Dengan apa yang dilakukannya menjelang pensiun, Jokowi mirip Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Enam pekan menjelang pemilihan presiden pada 2021, ia mengganti hakim agung yang menjadi penentu kemenangan pemilu jika terjadi perselisihan. Ketika Mahkamah Agung menyatakan ia kalah, Trump menolak mengakuinya hingga tak hadir dalam pelantikan Joe Biden.

Jokowi berkali-kali merombak kabinet menjelang lengser. Ia mencoba mempengaruhi Prabowo Subianto agar melanjutkan proyek-proyek besarnya yang belum rampung. Melalui menteri kepercayaannya, Bahlil Lahadalia, Jokowi mengambil alih Partai Golkar. Ia juga cawe-cawe dalam seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Benar kata Hasan al-Mawardi, ahli pemerintahan dari Irak abad ke-11 yang mencetuskan konsep awal “kontrak sosial” dalam negara, bahwa kekuasaan seperti candu: makin dinikmati makin menumbuhkan nafsu, membuat manusia menjadi dungu.

Berita Lainnya