Tanpa Arah Satgas Judi Online

Kerja dan strategi Satgas Judi Online tanpa arah jelas. Seharusnya berfokus pada bandar.

Tempo

Minggu, 11 Agustus 2024

SATUAN Tugas Pemberantasan Judi Online berjalan tanpa arah dalam memerangi kegiatan ilegal di dunia maya itu. Unit ad hoc bentukan pemerintah ini lebih sering memasang spanduk di berbagai tempat ketimbang mengejar bandarnya.

Kegamangan juga terlihat dalam respons pihak berwenang terhadap inisial “T” yang disebut Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Benny Rhamdani sebagai bandar judi online. Bukannya menyelisik kebenarannya, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI malah menuduh Benny menyebarkan berita bohong. Benny pun balik badan dan meminta maaf. Kesempatan menelusuri kebenaran “T”—siapa pun tokoh yang dimaksud Benny—sebagai bandar pun menguap.

Satgas Judi Online dengan segala sumber daya sebenarnya bisa melakukan investigasi mendalam terhadap informasi Benny. Ia tentu tak asal bicara jika tak memiliki informasi valid. Apalagi sebagai orang yang menangani tindak pidana perdagangan orang atau TPPO, Benny besar kemungkinan memahami betul soal ini.

Judi online tak dikendalikan dari Indonesia, melainkan dari negara lain. Salah satunya Kamboja. Di sini judi memang tak dilarang. Cerita tentang para pekerja migran yang dijadikan pekerja judi online dan online scamming bukanlah karangan belaka. Banyak pekerja migran yang telah menjadi korban dan menderita.

Perputaran uang di bisnis judi online ini sangat fantastis. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, jumlah uang yang berputar dari transaksi judi online sepanjang 2023 hingga Maret 2024 sebesar Rp 427 triliun, lebih besar dibanding anggaran negara untuk pendidikan yang hanya Rp 134 triliun setahun.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah pemain judi online di Indonesia sebanyak 2,7 juta orang, 80 persen di antaranya berpenghasilan rendah. Sisanya berasal dari berbagai kalangan, seperti profesional, bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah.

Rayuan bermain judi online kini merasuki ruang digital yang menjadi santapan banyak orang dari berbagai kalangan. Iklan judi online pun disebarkan para influencer atau pemengaruh di berbagai platform digital. Pergerakan ini seharusnya juga menjadi perhatian Satgas Judi Online.

Dengan masa tugas yang terbatas hingga Desember 2024, Satgas Judi Online tak bisa lagi bekerja dengan cara biasa. Mereka harus mengerahkan segala sumber daya untuk membendung penyebaran masif judi online. Penangkapan pemain atau razia minimarket yang menjual pulsa untuk bermain judi tak akan menghentikan bisnis yang merusak ini. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan Satgas Judi Online adalah memotong akses para pebisnisnya. Penjalinan kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara lain yang menjadi tempat aman bagi bandar judi online bisa menjadi strategi. Pemerintah bisa menjadikan judi online kejahatan transnasional. Ini langkah penting untuk menjerat pelaku yang berada di luar negeri.

Pemerintah terlihat setengah hati memberantas judi online. Fokus Satgas menyasar pemain judi online ketimbang mengungkap bandarnya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam melihat dampak judi online terhadap masyarakat. Satgas mengabaikan “gajah di pelupuk mata” demi memukul “kuman di seberang lautan”, yakni para pemain kelas teri.

Jika kerja Satgas Judi Online masih lamban seperti sekarang, lebih baik Presiden Joko Widodo membubarkannya. Maksimalkan saja kinerja aparat penegak hukum yang ada. Tanpa arah jelas, sulit untuk memberantas kegiatan yang ditopang dukungan finansial dan teknologi yang kuat itu.

Berita Lainnya