Demi Melunasi Tunggakan Rehabilitasi Mangrove
Masa kerja Badan Restorasi Gambut dan Mangrove layak diperpanjang. Demi merehabilitasi hutan mangrove yang rusak parah.
MINIMNYA capaian rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bisa menjadi alasan mempertimbangkan usul perpanjangan masa kerja lembaga ad hoc tersebut. Namun rehabilitasi mangrove bukan pekerjaan “sekali pukul”, melainkan usaha yang seharusnya berkelanjutan.
Rehabilitasi mangrove di kawasan seluas 600 ribu hektare tidak mungkin selesai dalam waktu empat tahun seperti target Presiden Joko Widodo. Lihat saja faktanya. Dari tahun 2021 hingga 2024, hutan mangrove yang telah direhabilitasi baru 78.828 hektare atau 13,14 persen dari target Jokowi.
Menindaklanjuti usul Kepala BRGM Hartono Prawiraatmadja pada akhir Juli 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar merekomendasikan perpanjangan masa kerja badan tersebut selama 10 tahun kepada Presiden. Rekomendasi perpanjangan ini merupakan bagian dari upaya memuluskan rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove, yang sedang menunggu tanda tangan Presiden.
Rancangan peraturan tersebut memberi wewenang kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil alih tata kelola kawasan mangrove seluas 3,44 juta hektare. Selama ini, KLHK hanya berwenang mengelola mangrove di kawasan hutan seluas 2,7 juta hektare. Sementara itu, kawasan mangrove seluas 733.489 hektare lainnya dikelola oleh pemerintah daerah, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Sikap BRGM yang tidak mempermasalahkan pengelola ekosistem mangrove sudah tepat. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, BRGM berfokus merehabilitasi ekosistem mangrove dan merestorasi gambut yang rusak, bukan meributkan siapa yang mengelolanya.
Selain mengupayakan perpanjangan masa kerja, BRGM menghendaki perluasan mandat. Saat ini, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020, BRGM bertugas merehabilitasi mangrove di sembilan provinsi saja. Ke depan, BRGM berencana menangani potensi habitat mangrove di 38 provinsi, termasuk kawasan mangrove yang rusak akibat alih fungsi lahan dan abrasi laut.
Yang juga penting, pengelolaan kawasan mangrove semestinya terintegrasi dan berfokus pada tujuan rehabilitasi dan restorasi, yakni mitigasi krisis iklim. Mangrove dan gambut merupakan ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap emisi karbon paling besar dibanding ekosistem terestrial. Dengan merestorasi gambut dan merehabilitasi mangrove, target menyerap emisi karbon sebesar 42 persen dari 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030 mungkin tercapai.
Karena itu, mandat BRGM perlu diperluas, tak sebatas di kawasan hutan yang tumpang-tindih dengan kewenangan KLHK. Pemerintah perlu menetapkan luas kawasan gambut dan mangrove yang harus direhabilitasi sesuai dengan kebutuhan mitigasi iklim. Posisi BRGM juga perlu diperkuat menjadi lembaga pemerintahan nonkementerian, seperti halnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Penguatan BRGM terutama dalam hal pengawasan, koordinasi, serta supervisi rehabilitasi mangrove dan restorasi gambut. Dengan begitu, kehancuran total hutan mangrove dan gambut lebih memungkinkan dicegah. Perbaikan kedua ekosistem ini juga menunjukkan Indonesia serius dalam mitigasi iklim.