Kekerasan Polisi dan TNI yang Terus Berulang

Kebrutalan tentara dan polisi terus berulang. Perlu reformasi total dua institusi itu.

Tempo

Minggu, 30 Juni 2024

TINDAK kekerasan polisi dan tentara terhadap masyarakat terus berulang. Cara-cara mereka menangani persoalan di lapangan makin sadis. Mereka menyiksa orang hingga tewas, termasuk remaja dan anak-anak. 

Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia harus menghentikan cara-cara kejam ketika menangani persoalan. Aparat wajib mematuhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Pemerintah sudah meratifikasi konvensi itu melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Peraturan ini melarang pejabat publik melakukan penyiksaan baik fisik maupun mental serta perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

Cara biadab aparat dalam menangani perkara di antaranya diungkap oleh Lembaga Bantuan Hukum Padang. LBH menduga puluhan polisi menyiksa tujuh pria, lima di antaranya anak-anak, dengan cara mencambuk, memukul dengan rotan, menyeruduk menggunakan sepeda motor, menyundut dengan rokok, serta menyetrum. Polisi lebih dulu menangkap mereka bersama sebelas orang lain dengan tuduhan hendak melakukan tawuran di Jembatan Kuranji, Padang, Ahad dinihari, 9 Juni 2024. 

Kematian Afif Maulana, salah satu korban, diduga akibat kebiadaban polisi pada dinihari itu. Siswa sekolah menengah pertama itu adalah rekan 18 orang yang ditangkap. Beberapa jam setelah penangkapan, mayat Afif ditemukan mengambang di sungai di bawah Jembatan Kuranji. Tubuh remaja 13 tahun itu penuh luka lebam. Pipinya membiru. Hasil autopsi Rumah Sakit Bhayangkara Padang Barat menyebutkan Afif meninggal karena enam tulang rusuknya patah.

Kondisi tubuh Afif berkebalikan dengan pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono. Ia mengatakan Afif bukan korban kebrutalan polisi. Suharyono seharusnya mendorong pengusutan kematian Afif secara tuntas dan transparan, bukan tergesa-gesa menyangkal. 

Suharyono bahkan mengancam akan mengejar orang yang menyebarkan video kematian Afif. Sikap Kepala Polda Sumatera Barat seperti ini kerap ditunjukkan kalangan kepolisian ketika ada anggota korps baju cokelat yang bertindak brutal di lapangan. 

Tindakan sadis juga dilakukan prajurit Sersan Dua Adan Aryan Marsal dari Bagian Urusan Pemeliharaan dan Ketertiban Pusat Polisi Militer pada Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Nias, Sumatera Utara. Adan membunuh Iwan Sutrisman Telaumbanua, 21 tahun, warga Nias Selatan.

Pembunuhan yang terjadi pada Desember 2022 itu baru terungkap di akhir Maret 2024. Sebelum membunuh Iwan, Adan menjanjikannya dapat menjadi bintara Angkatan Laut. Ia pun berbohong kepada keluarga korban bahwa Iwan berhasil menjadi bintara dan tengah menjalani pendidikan. Selama 15 bulan setelah pembunuhan, Adan sering meminta uang kepada keluarga korban hingga total yang diterima lebih dari Rp 200 juta.

Dua kasus itu melengkapi catatan LBH se-Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka mencatat terdapat 294 korban penyiksaan pada 2022-2023 dan 24 korban pembunuhan di luar proses hukum dalam tahanan pada 2020-2023. Sebagian besar pelakunya adalah polisi dan tentara.

Fakta-fakta ini sudah cukup menjadi alasan untuk segera mereformasi kepolisian dan TNI secara menyeluruh. Tentara harus kembali ke barak. Polisi berkonsentrasi pada tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat

Berita Lainnya