Penyebab Maraknya Perdagangan Satwa Liar

Perdagangan ilegal satwa tak pernah putus karena aparat kerap terlibat. Pelaku pun tak kunjung jera karena hukuman yang ringan.

Tempo

Minggu, 2 Juni 2024

PERDAGANGAN ilegal satwa di Indonesia terus berputar tanpa tanda-tanda akan berhenti. Meskipun aparat setiap tahun mengungkap puluhan kasus perdagangan satwa liar dan dilindungi, akar persoalan aktivitas haram itu tidak pernah benar-benar disentuh.

Kolaborasi majalah Tempo dengan beberapa media dalam Bela Satwa Project mengungkap penyelundupan satwa endemis Papua seperti burung cenderawasih, biawak Papua, kakatua jambul kuning, dan walabi ke Makassar. Dari Makassar, hewan-hewan langka itu diselundupkan dan diperdagangkan ke sejumlah negara, seperti Vietnam, Malaysia, Cina, dan Filipina.

Pasar gelap menjadi tempat favorit bagi kolektor satwa eksotis seperti cenderawasih, yang dihargai sangat tinggi. Meskipun sudah sering diungkap, penyelundupan cenderawasih masih marak terjadi, seperti yang terungkap pada 19 April 2024 di Pelabuhan Baubau, Sulawesi Selatan.

Bukan hanya di pasar gelap, jual-beli ilegal satwa juga terang-terangan berderap di media sosial seperti Facebook. Di sana berbagai macam hewan langka diperjualbelikan dengan harga dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menaksir kerugian negara akibat perdagangan ilegal satwa mencapai Rp 13 triliun setiap tahun.

Saban tahun, aparat penegak hukum memang berhasil menciduk banyak pelaku perdagangan satwa ilegal. Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berkas 227 kasus perdagangan satwa dan tumbuhan ilegal telah dinyatakan lengkap oleh jaksa dalam kurun 2018-2022. Namun perdagangan ilegal satwa masih terus terjadi.

Musababnya, aparat penegak hukum tidak pernah benar-benar membongkar jaringan perdagangan ilegal satwa. Bahkan tidak jarang aparat berkomplot dengan pelaku perdagangan ilegal untuk mengamankan transaksi mereka. Dalam beberapa kasus, anggota Tentara Nasional Indonesia terbukti terlibat penyelundupan satwa langka. Adakah yang dihukum berat? Tidak ada.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE), pelaku perdagangan satwa dan tumbuhan ilegal dapat dihukum maksimal lima tahun penjara atau didenda Rp 100 juta. Kalaupun hukuman maksimal dijatuhkan, itu tetap saja terbilang ringan untuk kejahatan lingkungan yang berdampak panjang. Apalagi kalau hukumannya didiskon besar. Wajar saja bila banyak pelaku merupakan residivis alias penjahat kambuhan. Mereka tidak jera karena hukuman yang ditanggung ringan saja.

Ada usulan merombak Undang-Undang KSDAE dengan menambah hukuman bagi pelaku kejahatan satwa dari 5 tahun menjadi 20 tahun penjara. Hukuman yang lebih berat diharapkan dapat memberi efek jera yang lebih besar. Tapi kita tahu, di negeri ini, ancaman hukuman berat di atas kertas sering kali belum cukup.

Diperlukan kesungguhan penegak hukum dan dukungan masyarakat luas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan ilegal satwa. Kita tidak ingin generasi yang akan datang hanya bisa mendengar cerita burung cenderawasih yang eksotis tapi sudah punah. Kita pun tak mau nasib harimau Sumatera berakhir seperti harimau Jawa yang tinggal legenda. Lebih dari itu, satwa liar adalah penyangga ekosistem dan planet ini.

Berita Lainnya