Korupsi Membangkrutkan Indofarma

Indofarma bangkrut ketika perusahaan farmasi lain berjaya akibat pandemi Covid-19. Menyuntikkan modal bukan opsi bijak.

Tempo

Minggu, 2 Juni 2024

BAGAI tikus mati di lumbung padi. Peribahasa ini pas menggambarkan kondisi PT Indofarma Tbk hari-hari ini. Badan usaha milik negara bidang farmasi ini bangkrut ketika perusahaan-perusahaan sektor kesehatan domestik dan mancanegara menangguk laba akibat pandemi Covid-19 dan kian tingginya permintaan publik akan layanan serta produk kesehatan.

Pada Februari 2023, riset lembaga penelitian independen nirlaba asal Belanda, Stichting Onderzoek Multinationale Ondernemingen, menunjukkan pandemi Covid-19 membuat industri farmasi global untung besar. Pfizer, BioNTech, Moderna, dan Sinovac meraup keuntungan US$ 90 miliar atau sekitar Rp 1.462 triliun dari bisnis vaksin dan obat-obatan Covid-19 selama 2021 dan 2022. 

Di dalam negeri, PT Kalbe Farma Tbk mengumumkan laba bersih Rp 3,4 triliun pada 2022, naik 6,2 persen dibanding pada 2021. Perusahaan jamu dan farmasi PT Sido Muncul Tbk pun menangguk laba bersih Rp 1,26 triliun pada 2021. Bahkan PT Bumame, pemain baru sektor kesehatan yang terkenal karena diduga mengeluarkan hasil tes Covid-19 palsu, meraup laba dari bisnis pengetesan antigen virus corona.

Berkah pandemi itu tak dinikmati Indofarma. Pada 2021, di tengah badai pandemi, Indofarma malah merugi Rp 37,57 miliar. Pada kuartal III 2023, emiten berkode INAF di Bursa Efek Indonesia ini juga merugi Rp 191,7 miliar. 

Pangkal kerugian Indofarma adalah salah kelola hingga korupsi oleh manajemennya. Direktur Utama Arief Pramuhanto dipecat karena dugaan itu. Kebijakan-kebijakannya menggerogoti keuangan perusahaan: dari mendirikan perusahaan penjual obat yang tak efisien, membangun perusahaan penampung dana, hingga menggelembungkan belanja obat yang tak mendatangkan untung. Indofarma Global Medika, perusahaan penjual produk Indofarma itu, tak menyetor duit hasil penjualan produk yang mencapai Rp 470 miliar. 

Salah kelola Indofarma berdampak terhadap pekerja dan merepotkan induk usahanya. PT Bio Farma (Persero), induk Indofarma, harus menalangi pembayaran gaji karyawan yang macet sejak akhir 2023. Indofarma juga harus berhadapan dengan para kreditor dalam gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang di pengadilan niaga Jakarta. Perusahaan pun tengah dikejar pemasok obat Covid-19 dari India karena pembayaran yang belum beres. 

Dengan berbagai persoalan itu, mempertahankan perusahaan rugi bukan pilihan bagi pemerintah. Selain menangani para pelaku penyelewengan dan korupsi melalui penegakan hukum, pemerintah mesti tegas menentukan masa depan Indofarma. Pemberian penyertaan modal kepada perusahaan yang merugi jelas bukan opsi bijak.

Sebaliknya, penutupan perusahaan adalah pilihan terbaik. Toh, Indonesia masih memiliki beberapa perusahaan negara di sektor farmasi dan kesehatan. Ada Bio Farma dan Kimia Farma yang bisa mengisi peran Indofarma. Ihwal karyawan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara bisa mengalihkannya ke perusahaan negara bidang farmasi lain. 

Penutupan Indofarma juga bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang skema bisnis BUMN farmasi dan perusahaan pelat merah agar lebih efisien. Jika banyak perusahaan negara dibuat di sektor yang sama, selain dapat menciptakan persaingan tak sehat antar-perusahaan negara, bisnis farmasi bisa menjadi tak efisien. Apalagi, dalam banyak kasus, BUMN selalu menjadi “sapi perah” kepentingan politik yang melahirkan korupsi.

Berita Lainnya

Laut

Minggu, 2 Juni 2024