Peran Orang Tua Mencegah Wabah Pornografi Anak

Kejahatan pornografi anak terus meluas. Pelaku bisa beroperasi dari dalam penjara.

Tempo

Minggu, 17 Maret 2024

INDONESIA bagaikan lahan subur berkembangnya pornografi anak. Jaringan kejahatan yang menyasar bocah ini terbongkar dan salah satunya dikendalikan seorang pelaku bernama Muhammad Shobur dari dalam penjara. Ia berjejaring hingga ke luar negeri, memperdayai para korban selama bertahun-tahun. Orang tua sebaiknya tak lagi mengandalkan peran negara dalam menangkal kejahatan ini.

Pengungkapan jaringan pornografi anak pada akhir Februari 2024 bermula dari informasi Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan terhadap Anak Internasional Biro Penyelidikan Federal Amerika Serikat (FBI). Lembaga itu menemukan ribuan konten porno yang sebagian diperankan anak-anak berusia 7-16 tahun asal Indonesia. Konten tersebut tersebar melalui aplikasi Telegram ke berbagai negara. Dari informasi itu, Kepolisian Republik Indonesia baru mencokok sejumlah pelaku. Tanpa informasi dari negara lain itu, sangat mungkin para pelaku kejahatan pornografi anak bakal beroperasi lebih lama.

Polri sesungguhnya punya kemampuan mendeteksi jaringan tersebut. Dengan peralatan canggih yang dimilikinya, mudah bagi mereka membongkar kasus pornografi anak. Menyelusup ke grup Telegram, yang anggotanya hanya membayar puluhan ribu rupiah untuk dapat bergabung, bukan perkara sulit. Mereka biasa melakukannya untuk menangani perkara terorisme. Namun, untuk perkara pornografi anak yang merupakan kejahatan luar biasa ini, kepolisian seolah-olah tidur dan baru terbangun setelah mendapat sentilan dari Amerika Serikat.

Minimnya perhatian penegak hukum pada kejahatan pornografi anak membuat para pelaku bisa terus membuat dan mengedarkan kontennya. Indonesia bahkan menempati peringkat kelima negara produsen pornografi anak terbesar di dunia pada 2022 dengan 1,87 juta konten. Nilai transaksinya, seperti diungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, mencapai Rp 114,26 miliar. PPATK memperkirakan nilainya lebih besar dari yang terungkap di permukaan.

Para pelaku kejahatan pornografi anak bisa berada di mana saja dan menyasar siapa pun. Dari dalam penjara, Muhammad Shobur bisa menginstruksikan anak buahnya melalui telepon seluler untuk terus membuat konten. Inilah buntut bobroknya tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia, persoalan yang tak pernah bisa diselesaikan pemerintah. Jangankan penggunaan telepon seluler, narkotik saja bisa diproduksi dan diedarkan ke luar bui.

Dengan kondisi itu, pencegahan peredaran konten pornografi anak tak perlu lagi dipercayakan sepenuhnya kepada negara. Kunci mengatasi persoalan itu ada pada orang tua yang harus lebih peduli terhadap aktivitas anak-anaknya. Mereka harus mengingatkan anak-anak agar tak mudah percaya kepada orang lain. Jaringan Shobur, misalnya, menyasar anak-anak yang aktif di komunitas online game di media sosial, seperti Facebook. Perhatian yang sama harus diberikan oleh sekolah.

Orang tua hendaknya tak menganggap remeh kejahatan yang menyasar anak-anak. Mereka harus membatasi secara ketat akses anak-anak terhadap Internet sesuai dengan usianya guna menutup celah masuk pelaku kejahatan pornografi. Orang tua pun perlu berjejaring dengan sekolah agar kegiatan anak bisa lebih terawasi. Tanpa pencegahan dini, para predator akan lebih mudah memangsa anak-anak.

Berita Lainnya