Abai Mitigasi Bencana Hidrometereologi di Indonesia

Bencana hidrometeorologi menerjang berbagai wilayah di Indonesia. Mitigasi belum menjadi prioritas.

Tempo

Minggu, 17 Maret 2024

TAK ada satu pun negara sekarang ini yang bebas dari ancaman perubahan iklim. Cuaca yang tak ramah, topan, banjir, dan rob terjadi sporadis di lintas benua. Karena itu, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana semestinya menjadi prioritas utama kebijakan di negara mana pun, termasuk Indonesia.

Dalam pekan-pekan terakhir, banjir dan tanah longsor menerjang berbagai wilayah Indonesia, dari Sumatera Barat; Semarang, Jawa Tengah; sampai Madura, Jawa Timur. Hal itu seharusnya menyadarkan kita bahwa dampak buruk krisis iklim kian merangsek. Alam sedang tidak baik-baik saja. Wilayah kepulauan kita rentan oleh katastrofe besar.

Berdasarkan data World Risk Index 2020, Indonesia menduduki posisi ke-40 di antara 181 negara rentan bencana. Selain terperangkap dampak buruk perubahan iklim, Indonesia berada di kawasan cincin api (ring of fire) yang rawan gempa serta erupsi gunung api.

Karena itu, dibutuhkan komitmen tinggi pengelola negara untuk memitigasi risiko serta pemulihan pascabencana di Indonesia. Mitigasi bencana seharusnya tidak sebatas retorika atau program sekunder. Mitigasi semestinya menjadi program prioritas pemerintah, terutama dalam mengantisipasi bencana besar yang bisa terjadi kapan saja.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sejatinya telah mengatur mitigasi. Undang-undang itu menyebut mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko melalui pembangunan fisik, penyadaran, hingga peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Aktivitasnya merentang dari pengenalan tanda-tanda, pencegahan, sampai penanganan bencana.

Masalahnya, ketika bencana benar-benar melanda, pemerintah selalu terkaget-kaget dan terlambat mengantisipasi. Koordinasi yang buruk selalu menjadi isu. Tak jarang pula di antara pejabat pemerintah malah terjadi polemik terbuka, entah soal penyebab entah cara penanggulangan bencana.

Sebaliknya, ketika bencana belum datang, para pejabat pemerintah umumnya anteng-anteng saja. Para politikus pun jarang memberi perhatian atas lemotnya pemerintah dalam menyiapkan mitigasi. Para politikus baru sibuk ketika bencana terjadi. Itu pun sering kali lebih didorong kepentingan pencitraan.

Di masyarakat, kesadaran akan ancaman bencana pun belum merata. Tak sedikit dari mereka yang menganggap bencana alam sebagai takdir yang tak bisa diantisipasi atau diminimalkan akibatnya. Berbeda dengan di Jepang, misalnya. Selain pemerintahnya lebih serius menyiapkan mitigasi, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana sudah menjadi urusan sehari-hari.

Hampir semua bencana yang melanda wilayah kita belakangan ini berkaitan dengan parameter hidrometeorologi—seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. Karena itu, kajian para ahli hidrometeorologi layak terus disosialisasi, sebagaimana suara para pakar virus pada masa pandemi Covid-19 lalu.

Sepanjang berbasis data atau kajian ilmiah, pemerintah seharusnya tidak ragu memperingatkan ihwal ancaman bencana sebesar apa pun yang mengincar sebuah wilayah. Itu bukan untuk menakut-nakuti, justru buat meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan semua orang dalam menghadapi malapetaka.

Berita Lainnya