Dampak Kecerdasan Buatan bagi Juru Bahasa

Kecerdasan buatan menawarkan banyak kemudahan sekaligus memicu kegalauan. Tak cukup menjadi pengguna mesin yang malas.

Tempo

Minggu, 4 Februari 2024

SATU per satu pekerjaan manusia digantikan teknologi kecerdasan buatan (AI). Yang terbaru adalah profesi penerjemah atau juru bahasa konferensi. Profesi itu tampaknya akan menjadi bagian dari 300 juta pekerjaan di dunia yang—menurut prediksi Goldman Sachs Research—bakal digulung otomatisasi berbasis AI.

Memanfaatkan teknologi AI, proses alih bahasa naskah atau konferensi jauh lebih cepat dan akurat. Mesin AI juga bisa menerjemahkan satu bahasa ke berbagai bahasa dalam sekejap. Dalam skala besar, alih bahasa menggunakan teknologi AI pun lebih murah ketimbang memakai jasa penerjemah manusia.

Ada banyak pilihan mesin cerdas alih bahasa, seperti Google Translate, ChatGPT, Microsoft Translator, DeepL, Reverso Translation, dan DeftPDF. Kehadiran berbagai aplikasi tersebut menutup celah rendahnya kemampuan penggunaan bahasa asing di negara berkembang seperti Indonesia. Cukup dengan satu telepon seluler di tangan, kita bisa memahami banyak bahasa asing di dunia.

Kaum difabel juga mulai menikmati teknologi AI. Misalnya para penyandang tunarungu kini bisa memanfaatkan alat bantu dengar berbasis kecerdasan buatan. Dengan alat tersebut, mereka dapat memahami kalimat dari lawan bicara tanpa memerlukan juru bahasa isyarat.

Masalahnya, berbagai aplikasi alih bahasa itu hanya mampu menerjemahkan kalimat secara apa adanya. Mesin cerdas tersebut tak mampu menangkap konteks, nuansa budaya, ataupun kesopanan dalam kalimat. Mesin AI pun tak bisa berempati atas perasaan atau kondisi emosional pengguna bahasa mana pun

Meski menawarkan pelbagai kemudahan, kehadiran teknologi AI juga memicu kegalauan. Di bidang kesehatan, misalnya, petugas administrasi dan analis data mulai digantikan oleh pelbagai aplikasi yang mampu mengekstrak, mengolah, dan menganalisis data lebih cepat dan akurat dibanding tenaga manusia. Perlahan-lahan mesin AI akan menggusur begitu banyak petugas administrasi dan analis data kesehatan.

Seolah-olah ingin menepis kegalauan itu, para pakar dan pengembang AI di forum pertemuan ekonomi dunia di Davos, Swiss, pada 16 Januari 2024 menegaskan bahwa kehadiran teknologi kecerdasan buatan bukan untuk menggantikan kemampuan manusia. Teknologi AI, menurut mereka, hanya bersifat menambah dan mendukung kegiatan manusia. Meski berbagai profesi lama akan tergusur, teknologi AI akan melahirkan berbagai profesi baru, seperti spesialis atau ahli di bidang kecerdasan buatan.

Karena tak mungkin lagi dibendung, kemajuan teknologi AI harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab. Agar tidak tenggelam, kita harus berselancar di atas gelombang kecerdasan buatan, yang kerap lebih pintar dari pembuatnya. Dengan kata lain, ketika teknologi AI menggantikan sebagian tugasnya, manusia harus meningkatkan kemampuan untuk mengontrol teknologi tersebut.

Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam lomba pengembangan teknologi AI yang didominasi negara maju. Kita tak cukup menjadi pengguna mesin AI yang malas berpikir atau berkreasi. Lembaga riset pemerintah dan para ahli teknologi harus lebih proaktif menentukan desain kecerdasan buatan yang spesifik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat di negeri ini.

Berita Lainnya