Ongkos Besar Putus Hubungan dengan Batu Bara

Anggaran negara akan mengucur untuk transisi energi. Dampak ambisi pemerintah yang kalap membangun PLTU batu bara. 

Tempo

Minggu, 5 November 2023

TRANSISI energi dengan memutus kecanduan pada energi listrik batu bara seperti mengobati ketergantungan pada narkotik. Biayanya mahal, waktunya pun tak sebentar. Pemerintah kini tak punya pilihan selain menggerojokkan duit besar ketika hendak menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara.

Pensiun dini PLTU batu bara adalah salah satu cara dalam transisi energi. Untuk menutup PLTU Cirebon Unit 1 dan PLTU Palabuhanratu di Jawa Barat sebelum masa pakainya selesai, pemerintah harus menyediakan dana tak kurang dari Rp 18,4 triliun: Rp 4,7 triliun untuk PLTU Cirebon Unit 1 dan Rp 13,7 triliun untuk PLTU Palabuhanratu. Anggaran ini digunakan untuk menalangi biaya perubahan hitungan bunga pinjaman proyek hingga kompensasi penurunan nilai aset dan beban operasi karena masa pakai dua PLTU itu harus dipangkas, dari 24-30 tahun menjadi 15 tahun.

Biaya besar itu pula yang harus disediakan negara ketika pemerintah hendak memensiunkan PLTU Suralaya 1-4 di Cilegon, Banten. PLTU berkapasitas 1.600 megawatt ini menjadi sumber polusi udara Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa bulan terakhir. Masalahnya, dananya belum ada.

Data Global Energy Monitor menyebutkan, sampai akhir semester I 2023, ada 234 PLTU batu bara di semua wilayah dengan kapasitas terpasang 45,35 gigawatt. Menurut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Indonesia membutuhkan Rp 1.500 triliun untuk menyetop operasi semua PLTU batu bara.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2023 membuka ruang fiskal untuk pembiayaan transisi energi, termasuk penghentian PLTU batu bara ini. Dengan kata lain, anggaran negara akan mengucur apabila tak ada sumber dana alternatif. Padahal, dalam rencana awal transisi energi, pendanaan untuk proyek semacam ini akan berasal dari hibah negara donor, partisipasi filantrop, atau pinjaman lunak dari bank.

Harapan sempat muncul ketika pemerintah dan sejumlah negara maju menyepakati kerangka pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun dalam forum G20 tahun lalu. Tapi JETP rupanya tak mau rugi. Bukan hibah yang mereka sediakan, melainkan utang dengan bunga tinggi. Dana hibah JETP kurang dari 1 persen. 

Kini pemerintah terjepit dari atas-bawah. Transisi energi adalah keharusan sebagai bagian dari strategi mencapai nol bersih emisi untuk mencegah krisis iklim. Pemerintah Indonesia sudah berjanji kepada dunia internasional akan mencapai target net zero emission itu pada 2060. Jika transisi energi kotor ke terbarukan tak dimulai sekarang, target itu bisa tak terwujud.

Kini belum ada sanksi untuk kegagalan mencapai target emisi bersih. Namun kelak, ketika pengurangan emisi tak bisa ditawar untuk mencegah bumi kiamat, hukum pasar akan berlaku. Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional, tak ada investor yang melirik, dan ongkos perdagangan mahal karena nilai tukar rupiah merosot lantaran Indonesia dianggap tak punya komitmen global mencegah krisis iklim.

Dampak PLTU ini memang muncul akibat nafsu pemerintah mendongkrak ekonomi dengan mengeruk batu bara sebagai sumber listrik untuk menarik investasi. Kini, ketika energi fosil menjadi musuh bersama, anggaran publik pula yang harus menanggungnya.

Pemerintah perlu menimbang jorjoran proyek infrastruktur yang mungkin kelak bernasib seperti batu bara ini: ongkos besar mengandung risiko besar karena pembiayaannya memakai utang. Memensiunkan dini PLTU batu bara adalah keharusan seraya menaikkan bauran energi baru dan terbarukan yang lebih bermaslahat.

Berita Lainnya