Skenario Culas Prabowo-Gibran

Usaha mendorong Gibran Rakabuming Raka bisa ikut pemilihan presiden sebagai krisis demokrasi. Politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Tempo

Minggu, 15 Oktober 2023

EMPAT tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan anak-anaknya tak ada yang tertarik masuk politik. Hari ini, dua putra dan seorang menantunya menjadi politikus. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, bahkan digadang-gadang menjadi calon wakil presiden meskipun menurut undang-undang belum cukup umur. 

Boleh atau tidaknya Gibran menjadi calon wakil presiden tergantung Mahkamah Konstitusi, yang akan membacakan putusan uji materi batas usia calon presiden dan wakil presiden pada 16 Oktober 2023. Jika hakim mengabulkannya, jalan Wali Kota Surakarta itu untuk mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024 makin terbuka. Prabowo berkali-kali meminta Gibran menjadi pasangannya.

Sejumlah orang dekat Prabowo ragu kehadiran Gibran dapat menambah perolehan suara kandidat mereka. Beberapa survei juga menunjukkan elektabilitas Gibran di bursa calon wakil presiden hanya 7-8 persen, di bawah Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara yang menjadi salah satu kandidat pendamping Prabowo. Dalam simulasi calon presiden dan wakilnya dalam survei Indikator Politik Indonesia pada akhir Agustus-awal September, elektabilitas Prabowo-Gibran berada di bawah pasangan Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno ataupun Ganjar-Mahfud Md.

Alasan paling masuk akal perkawinan Prabowo-Gibran adalah sokongan Jokowi. Dengan mengajak Gibran, Prabowo mendapatkan garansi dukungan Jokowi, yang memiliki keberterimaan publik (approval rating) 81 persen pada Agustus lalu—tertinggi selama menjabat presiden. Sokongan Jokowi bisa menarik kelompok pendukung dan pemilihnya ke kubu Prabowo. Apalagi naiknya elektabilitas Prabowo belakangan ini ditengarai berasal dari limpahan dukungan dari basis pemilih Jokowi pada 2019.

Dengan dukungan Jokowi pula Prabowo akan punya akses lebih besar terhadap sumber daya, terutama di pemerintahan. Prabowo bisa mendapatkan sokongan dari aparatur negara. Mobilisasi aparat bukan hal yang aneh dalam pemilihan umum di negara berkembang. Meski tak terang-terangan, praktik ini pernah terjadi pada pemilihan umum sebelumnya.

Dengan demikian, memasangkan Prabowo-Gibran terlihat sebagai rencana culas. Prabowo, yang ingin menjadi presiden setelah empat kali gagal sebagai calon presiden dan wakil presiden, menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk memanfaatkan Jokowi. Sebaliknya, Jokowi melihat hal tersebut sebagai peluang untuk mendorong Gibran menjadi presiden di tengah jalan. Karena alasan kesehatan, Prabowo mungkin lengser sebelum menyelesaikan masa tugasnya. 

Skenario ini bukan hal yang mustahil. Apalagi uji materi syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi tampaknya tengah “diakali”. Meskipun mayoritas hakim konstitusi sudah sepakat menolak permohonan uji materi itu, investigasi majalah ini menemukan ada indikasi upaya untuk meloloskannya dengan membahas ulang gugatan tersebut. 

Berulang kali Jokowi menyatakan keinginannya agar presiden penggantinya meneruskan program-programnya. Ia terang-terangan mengatakan akan “cawe-cawe” dalam pemilihan presiden agar transisi kepemimpinan berjalan mulus. 


Baca liputannya:


Di masa pemerintahan Jokowi, ada ratusan proyek strategis nasional dengan anggaran lebih dari Rp 5.700 triliun yang belum tuntas terselesaikan. Salah satunya Ibu Kota Negara Nusantara, yang menghabiskan anggaran Rp 466 triliun hingga 2045. Sejumlah ahli hukum pidana menyebutkan pelbagai proyek di masa Jokowi itu bisa bermasalah karena mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Nepotisme Jokowi mengasumsikan transisi pemerintahan akan berjalan mulus jika wakil presiden terpilih adalah anaknya, meski ia belum matang dan belum punya cukup pengalaman mengenal birokrasi dan pemerintahan. Langkah Jokowi menyorong-nyorong Gibran ikut pemilu menjadi usaha mempertahankan kekuasaan belaka, persis gambaran Bung Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, pada 1960 yang ia sebut sebagai krisis demokrasi.

Berita Lainnya