Main-main Kriteria Taksonomi Hijau

OJK merevisi klasifikasi perusahaan berdasarkan standar lingkungan dan tata kelola. Mengakomodasi kepentingan pendanaan pebisnis batu bara dan sawit.

Tempo

Minggu, 17 September 2023

DI Indonesia, konotasi sesuatu yang sejuk, indah, dan ramah lingkungan yang melekat pada kata “hijau” sebentar lagi bisa berubah. Hal ini sejalan dengan langkah Otoritas Jasa Keuangan yang akan mengubah Taksonomi Hijau Indonesia untuk mengakomodasi sejumlah sektor industri “kotor” agar bisa tercatat dalam kategori bisnis ramah lingkungan. 

Taksonomi Hijau Indonesia adalah klasifikasi kegiatan eko­nomi berdasarkan penilaian atas aktivitas bisnis sektor usa­ha, apakah memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tata kelola yang baik atau sebaliknya. Dalam daftar ini, OJK memberi label warna.

Label hijau berlaku untuk sektor yang melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan. Kuning atau kategori perte­ngah­an merupakan label untuk sektor yang dianggap melindungi lingkungan apabila memenuhi standar tertentu. Adapun label merah diberikan pada sektor usaha yang tidak memenuhi standar ramah lingkung­an.

OJK akan mengubah isi Taksonomi Hijau, antara lain dengan mengusulkan batu bara yang awalnya berada di kategori merah dan kuning menjadi berlabel hijau. Menurut OJK, pertambangan batu bara bisa dianggap hijau karena penting bagi ekonomi Indonesia.

Label hijau akan berlaku bagi perusahaan batu bara yang menerapkan standar pertambang­an tertentu dan mendukung program penghiliran pemerintah. Perubahan kriteria juga akan berlaku bagi industri sawit. Perusahaan sawit yang memenuhi standar tertentu pun bisa masuk kriteria hijau.

Kita tahu batu bara dan sawit merupakan dua sektor yang paling sering bermasalah dengan lingkungan. Batu bara merupakan penyumbang emisi karbon yang cukup besar sekaligus menjadi penyebab utama polusi di berbagai belahan dunia, termasuk di Jakarta. Adapun perkebunan sawit bermasalah karena sering memicu pembabatan hutan dan melanggar asas tata kelola lingkungan. 

Melihat rekam jejak itu, sulit mencerna logika OJK me­ma­sukkan batu bara dan sawit ke kategori bisnis ramah lingkungan, sekalipun alasannya adalah mendukung pendanaan dalam proyek transisi energi dari batu bara ke sumber daya terbarukan.

Memang, di sini ada dilema karena transisi energi mem­butuhkan biaya. Namun siapa yang bisa menjamin pelonggaran celah pada Taksonomi Hijau tidak akan dimanfaatkan untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap baru?

Dengan memasukkan bisnis batu bara ke kategori hijau, OJK kembali membuka pintu bagi bank dan lembaga keuangan lain untuk memberikan pendanaan. Hal itu berkebalikan dengan tren global saat ini, tatkala bank-bank kelas dunia berhenti memberikan kredit untuk bisnis yang tak ramah ling­kung­an, termasuk buat perusahaan batu bara. Bahkan sejumlah bank nasional juga mulai mengurangi kredit bagi perusahaan tambang dan perkebunan seiring de­ngan praktik yang berlaku secara global. 

Patut diduga perubahan label ini dilakukan demi mengakomodasi kepentingan korporasi yang mulai kehilangan sumber dana atau agar bank kembali leluasa mendanai bisnis batu bara dan sawit yang menjanjikan keuntungan besar.


Baca liputannya:


Perubahan kriteria itu tak bisa dianggap sepele lan­tar­an dampaknya bakal panjang. Indonesia bisa kehilangan ke­percayaan dari negara-negara yang peka terhadap aspek lingkung­an.

Jangan harap setelah ini Indonesia bisa dengan mu­dah mendapatkan dana dari negara dan lembaga donor untuk membiayai transisi energi. Bank dan lembaga keuangan nasional lain juga bisa kehilangan kepercayaan dari para pemegang obligasi yang menerapkan standar perlindungan lingkungan dan sosial serta tata kelola yang baik.

Berita Lainnya