Risiko Investasi Energi Proyek PGN

BPK menyelisik sejumlah aksi korporasi PGN yang disebut memicu kerugian Rp 5,2 triliun. Penegak hukum perlu turun tangan.

Tempo

Minggu, 23 Juli 2023

PENGELOLAAN badan usaha milik negara secara serampangan adalah salah satu simpul benang kusut sektor energi Indonesia. Tanpa perbaikan menyeluruh, negara berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan maksimal dari bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sejumlah investasi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang merugi dan kini sedang disorot Badan Pemeriksa Keuangan bisa menjadi salah satu contohnya.

Pada 2012, PT Saka Energi Indonesia, anak usaha PGN, mengakuisisi 20 persen participating interest wilayah kerja Ketapang di Jawa Timur milik Sunny Ridge Offshore Limited senilai US$ 71 juta—sekitar Rp 1 triliun. Laporan hasil pemeriksaan kepatuhan atas investasi PGN yang dirilis BPK pada April lalu menyebutkan hitungan nilai saat ini (net present value/NPV) dari blok itu cuma US$ 10 juta—sekitar Rp 150 miliar.

Dalam bisnis minyak dan gas yang penuh risiko, jangankan turun, NPV sama dengan harga pembelian saja kerap dianggap sebagai kesalahan besar. Apalagi BPK menemukan pembelian mendahului uji tuntas dan kelewat mahal US$ 30,5 juta. Nilai kelebihan pembayaran PGN di sana ditambah biaya akuisisi wilayah kerja Fasken (Texas, Amerika Serikat) dan Pangkah (Jawa Timur) diduga mencapai US$ 56 juta—sekitar Rp 849 miliar. 

Ada beberapa alasan akuisisi ini dinilai janggal. Pertama, tak seharusnya perusahaan negara bertransaksi dengan perusahaan cangkang—Sunny Ridge terdaftar di British Virgin Islands, negara suaka pajak. Belakangan beredar kabar bahwa perusahaan itu ternyata terhubung dengan sejumlah pengusaha nasional. Para taipan ini getol mencari pembeli blok gas sebagai strategi keluar dari bisnis gas mereka yang terus merugi. Kabar semacam ini tak akan mudah merebak jika sejak awal PGN bersikap terbuka ihwal siapa beneficial owner di balik Sunny Ridge.

Kedua, pengambilan keputusan investasi ini disebut tak sesuai dengan prinsip manajemen perusahaan sendiri. Dalam auditnya, BPK menemukan ada dokumen PT Saka yang menyatakan setiap keputusan akuisisi yang dinilai ekonomis hanya bisa dilakukan seusai due diligence oleh pihak eksternal. Kenyataannya, PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory dan Hadiputranto, Hadinoto & Partners baru menyetorkan hasil due diligence pada Oktober 2012. Padahal manajemen mengirimkan penawaran ke Sunny Ridge tiga bulan sebelumnya. Audit BPK kemudian menyatakan ada potensi kerugian PGN di wilayah kerja Ketapang, Fasken, dan Pangkah sebesar US$ 347 juta—sekitar Rp 5,2 triliun.


Baca liputannya:


Direktur Utama PGN saat itu, Hendi Prio Santoso, perlu menjelaskan apa yang terjadi di balik keputusan anak perusahaannya dalam kasus ini. Terlebih langkah investasi PGN di Sunny Ridge sebenarnya mirip dengan aksi perusahaan induk mereka, PT Pertamina (Persero). Pada 2009, Pertamina mengakuisisi participating interest Blok Basker Manta Gummy di Australia.

Belakangan, investasi itu boncos dan negara ditaksir merugi Rp 568 miliar. Karen Agustiawan, Direktur Utama PT Pertamina 2009-2014, sempat ditahan dan divonis 8 tahun penjara. Namun Karen akhirnya bebas lewat putusan kasasi Mahkamah Agung. Para hakim agung menilai kerugian Pertamina adalah risiko bisnis dan bukan tindak pidana. Sama-tidaknya nasib Hendi dengan Karen tentu ada di tangan para penegak hukum yang diminta BPK menindaklanjuti temuan ini.

Berita Lainnya