Diplomasi Menyelamatkan Tenggiling

Penyelundupan dan konsumsi satwa liar bisa meningkatkan risiko kesehatan dunia. Perlu lobi dan kerja sama lintas negara.

Tempo

Minggu, 2 Juli 2023

USAHA melindungi satwa langka seperti tenggiling (Manis javanica) tak cukup hanya dengan menangkap dan menghukum para penyelundup dan pedagangnya. Pemerintah perlu menjadikan penyelamatan tenggiling sebagai gerakan global dengan melobi negara yang menjadi sumber dan tujuan pasokan hewan ini. Dengan demikian, perdagangan tenggiling secara ilegal dan konsumsinya bisa mungkin dihentikan.

Perdagangan tenggiling marak akhir-akhir ini. Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia menangkap tiga penyelundup tenggiling dan menyita lebih dari 280 kilogram sisik tenggiling di Medan pada pekan pertama Juni lalu. Sebulan sebelumnya, polisi membongkar perdagangan 350 kilogram kulit tenggiling di Kalimantan Selatan. Penangkapan dan perdagangan ilegal tenggiling akan terus berlangsung bila permintaan dari pasarnya terus ada. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), perburuan tenggiling yang masif mengancam populasinya dan membuat mereka berisiko punah di alam liar.

Traffic, organisasi pemantau perdagangan satwa liar yang berbasis di Inggris, mencatat negara-negara di Asia, seperti Cina, Vietnam, dan Malaysia, menjadi tujuan utama perdagangan tenggiling. Dari 300 ton bagian tubuh tenggiling yang masuk ke nega­ra-negara itu secara ilegal sepanjang 2015-2021, sebagian besar berasal dari Indonesia. Di sana tenggiling diolah menjadi hidang­an mewah dan obat tradisional. Khasiat tenggiling untuk meng­atasi penyakit sampai hari ini masih diragukan karena belum ada riset medis yang bisa membuktikan.

Guna menekan permintaan dan membatasi perdagangan tenggiling, polisi harus menjalin kerja sama dengan penegak hukum lintas negara untuk memutus rantai penyelundupan satwa pemakan semut ini. Indonesia mesti berkolaborasi dengan negara yang juga menjadi pemasok utama tenggiling, seperti Afrika Selatan, Nigeria, dan Malaysia.

Dengan diplomasi, negara-negara konsumen satwa liar harus diyakinkan bahwa mengkonsumsi satwa liar tak hanya berbahaya bagi penduduk mereka sendiri. Dalam rantai global yang semua terhubung, konsumsi daging satwa liar untuk pelbagai tujuan akan meningkatkan pasokan dari negara asal. Menempatkan jenis satwa liar hanya ke dalam status ilegal ditangkap dan diperdagangkan tidak cukup. Sebab dari sana harus ada tindakan hukum yang mahal.

Cina dan negara lain yang mengkonsumsi hewan liar semestinya melihat kembali pandemi Covid-19 yang menewaskan hampir 7 juta orang di seluruh dunia. Wabah virus corona sejauh ini diyakini berasal dari pasar satwa di Wuhan, Cina. Pandemi menegaskan ancaman penyakit zoonosis—penyakit binatang yang dapat menular ke manusia—sungguh berbahaya.


Baca liputannya:


Cara virus corona berpindah dari kelelawar ke tubuh manusia memang belum jelas sampai sekarang, tapi kita tak perlu penjelasan ilmiah yang rumit untuk memahami penghentian konsumsi hewan liar yang berasal dari hutan akan mencegah munculnya risiko kesehatan.

Pandemi corona memberi pelajaran perdagangan dan konsumsi satwa liar memicu bencana kesehatan secara global. Penegakan hukum terhadap penyelundupan serta diplomasi untuk menghentikan konsumsi dan perdagangan tenggiling berpeluang menghindarkan manusia dari bencana di masa mendatang. Lebih dari itu, kepunahan satwa liar menjadi penyebab krisis iklim yang sedang kita hadapi sekarang.

Berita Lainnya