Ruang Gelap Omnibus Law Kesehatan

DPR dan pemerintah segera mengesahkan RUU Kesehatan atau omnibus law kesehatan. Hendak mengulang pengesahan UU Cipta Kerja.

Tempo

Minggu, 25 Juni 2023

LANGKAH Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan persis tindakan dokter di ruang gawat darurat: tertutup dan serba bergegas. Bedanya, sementara dokter menjalankan praktik secara berhati-hati untuk menyelamatkan pasien kritis, dua lembaga negara itu tidak memiliki alasan apa pun untuk terburu-buru mengesahkan rancangan yang disusun berdasarkan mekanisme omnibus tersebut.

DPR bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah memasukkan Omnibus Law Kesehatan ke Program Legislasi Nasional 2023 pada November tahun sebelumnya. Sejak itu, proses penyusunan dan pembahasannya berlangsung tanpa banyak melibatkan masyarakat secara luas. Pelibatan publik—seperti halnya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja—dilakukan untuk formalitas belaka. Tiba-tiba saja, pekan lalu, Komisi Kesehatan DPR sudah bersepakat meneruskannya ke rapat paripurna untuk disahkan.

Sistem kesehatan kita memang masih dibelit persoalan. Jumlah dokter spesialis, misalnya, jauh dari ideal. Untuk pelayanan yang maksimal, kita membutuhkan sekitar 82 ribu dokter spesialis, satu setiap 5.000 penduduk. Saat ini hanya tersedia 52 ribu orang. Itu pun cenderung berkumpul di kota-kota besar.

Juga benar, fasilitas kesehatan kita masih menjadi masalah. Tak sedikit warga yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai ke fasilitas kesehatan terdekat. Seandainya pun tempatnya mudah didatangi dan dokternya tersedia, belum tentu biayanya terjangkau.

Tapi justru karena itu RUU Kesehatan semestinya dibahas dengan lebih hati-hati. Sulit mengharapkan aturan yang disusun buru-buru tanpa melibatkan partisipasi publik secara benar dapat menjawab persoalan masyarakat. Kalau memang tujuannya baik, semestinya DPR dan pemerintah transparan dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak.

Organisasi profesi kesehatan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga Ikatan Apoteker Indonesia, misalnya, khawatir aturan baru tersebut akan mengorbankan kualitas pelayanan kesehatan. Kita tahu lembaga-lembaga profesi ini marah karena kewenangan mereka dipangkas. Tapi argumentasi mereka masuk akal. Soal izin praktik, siapa yang menjamin di bawah Menteri Kesehatan sertifikasi dokter dan proses perizinan lain akan lebih cepat dan transparan? Selain itu, tanpa uji profesional, bagaimana memastikan dokter dan pekerja kesehatan yang mendapatkan izin praktik benar-benar kompeten?

Di sinilah kita patut curiga DPR dan pemerintah hendak mengulang praktik buruk pembahasan UU Cipta Kerja. Di hadapan masyarakat, mereka menggembar-gemborkan bahwa omnibus law tersebut akan mengubah nasib pekerja menjadi lebih baik. Ujung-ujungnya undang-undang tersebut malah menyusahkan pekerja dan memberikan berbagai kemudahan kepada pengusaha, termasuk untuk merusak lingkungan.


Baca liputannya:


Kecurigaan bahwa pembahasan RUU Kesehatan mencontoh Undang-Undang Cipta Kerja bisa jadi benar jika DPR dan pemerintah memaksakan pengesahan RUU ini. Dalam berbagai kesempatan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, melalui RUU Kesehatan, dia ingin mempermudah investasi asing di sektor kesehatan. Jangan-jangan omnibus law merupakan cara instan untuk merealisasi niat tersebut. Jika itu yang terjadi, bukannya memperbaiki pelayanan, aturan baru ini malah akan makin menjauhkan masyarakat dari layanan kesehatan yang bermutu.

Omnibus Law Kesehatan adalah sebuah produk undang-undang yang kompleks dan penting. Belum terlambat bagi DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahannya dan membahasnya kembali secara transparan dengan melibatkan semua kelompok masyarakat.

Berita Lainnya