Kisruh Utang Minyakita

Pemerintah harus segera melunasi utang pengadaan minyak goreng murah. Kebijakan grasah-grusuh yang kini berbuntut panjang.

Tempo

Minggu, 14 Mei 2023

PEMERINTAH harus menaati kontrak dan segera melunasi utang kepada para pedagang minyak goreng. Sudah lebih dari setahun pemerintah terus menghindar dari kewajiban membayar selisih biaya produksi dan penjualan minyak goreng murah dengan merek Minyakita. Nilainya tak tanggung-tanggung: sedikitnya Rp 344 miliar. Jika tak dibayar, pengusaha sudah memberi ultimatum: tak mau lagi menjual minyak goreng dengan harga miring.

Kekisruhan ini seharusnya tak terjadi jika pemerintah tak tergesa-gesa merumuskan kebijakan. Semua bermula dari perubahan regulasi penyediaan minyak goreng murah pada awal 2022. Ketika harga minyak goreng meroket, pemerintah terkesan panik. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022, pemerintah mengumumkan program minyak goreng satu harga dengan merek Minyakita.

Pedagang yang mau menjual Minyakita wajib membanderolnya seharga Rp 14 ribu per liter dengan janji selisih antara harga beli dari produsen dan harga jual akan dilunasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa pembayaran akan dilakukan setelah melewati proses verifikasi. Kita semua masih ingat janji manis pemerintah pada saat memberlakukan skema subsidi ini. Untuk menyediakan 1,5 miliar liter Minyakita selama enam bulan, pemerintah melalui BPDPKS mengklaim menyiapkan anggaran Rp 7,6 triliun. Penjualan pun dimulai pada 19 Januari 2022. 

Belum sebulan program Minyakita berjalan, kebijakan pemerintah berubah. Pada 26 Januari 2022, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 yang menetapkan harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng dari Rp 11.500 per liter untuk minyak curah hingga Rp 14 ribu per liter buat minyak kemasan premium. Walhasil, program minyak goreng satu harga pun bubar karena aturannya dianulir. Nah, perubahan tersebut menimbulkan persoalan di lapangan karena dalam sepekan itu pedagang sudah kadung menjual Minyakita. Angka klaim pembayaran untuk selisih harga—dikenal dengan sebutan dana rafaksi—pun selangit: mencapai Rp 344 miliar. 

Di sinilah pemerintah mulai tak konsisten. Dengan beragam alasan, dari menunggu verifikasi yang terlambat hingga mencari dasar hukum akibat aturan yang sudah tak berlaku, pemerintah terus menunda pembayaran dana rafaksi. Pedagang pun kehilangan kesabaran. Padahal peraturan baru seharusnya tak menafikan regulasi sebelumnya.

Pasal 11 dan 12 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 sudah memastikan bahwa segala konsekuensi dari aturan yang lama tetap berlaku serta BPDPKS wajib membayar tagihan dari penjualan hingga 31 Januari 2022. Keterlambatan verifikasi juga seyogianya tak menjadi dalih. Meski verifikatur independen baru ditunjuk belakangan karena ada masalah tender, pemeriksaan klaim tak boleh tertunda terlalu lama. 


Baca artikelnya:


Keributan akibat tunggakan yang belum dibayar ini seharusnya tak sampai meletus jika pemerintah bekerja serius. Insiden ini benar-benar menampar wajah pemerintah kita dan bisa menggerus kepercayaan dunia usaha terhadap kredibilitas janji pemerintah. Ini pelajaran penting dari era pemerintahan Presiden Joko Widodo: jangan membuat kebijakan grasah-grusuh, tanpa data memadai, apalagi yang berusaha melawan hukum pasar.

Berita Lainnya

Raga

Minggu, 14 Mei 2023