Integrasi Tanggung Dana Pensiun

Penyatuan dana pensiun BUMN akan memudahkan kontrol dan tata kelola. Sentralisasi moral hazard.

Tempo

Minggu, 15 Januari 2023

RENCANA pemerintah menyatukan dana pensiun perusahaan negara semestinya diniatkan untuk menjamin hak-hak karyawan menikmati hari tua setelah tak lagi bekerja. Karena itu, tujuan utama integrasi dana pensiun BUMN adalah mencegah korupsi dan penyelewengan atas nama investasi. 

Kita punya pengalaman buruk korupsi dana pensiun di Asabri dan Jiwasraya. Dua pengelola dana pensiun BUMN ini merugi lebih dari Rp 40 triliun karena pengelolanya memain-mainkan aset dan simpanan nasabah. Menurut kajian Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dari 108 dana pensiun di perusahaan pelat merah, sebanyak 65 persen bermasalah. Masalah itu berupa korupsi hingga kesalahan investasi.

Dengan terintegrasi di bawah satu atap, kontrol terhadap rencana-rencana investasi bisa lebih terfokus dan terkonsolidasi. Sejak dua tahun lalu, pemerintah berencana menyatukan pengelolaan dana pensiun di bawah PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau Indonesia Financial Group (IFG)—induk perusahaan keuangan negara nonbank.

Masalahnya, di Indonesia, pemusatan justru menjadi cara mudah menyelewengkan kewenangan. Apalagi dana yang dikelola dana pensiun BUMN sangat menggiurkan. Dengan jumlah dana hampir Rp 200 triliun, lembaga dana pensiun selalu menggoda para politikus yang berkolaborasi dengan pencari untung menjadikannya bancakan. 

Resistansi sejumlah dana pensiun besar, seperti dana pensiun Pertamina, terhadap integrasi ini menunjukkan adanya pengelolaan dana yang tak beres. Maka Menteri BUMN Erick Thohir meski memakai momentum integrasi ini untuk pertama-tama menemukan borok dan mengamputasinya. Tanpa membuang borok itu, pengobatan melalui penyatuan satu atap hanya akan membuat integrasi dana pensiun BUMN makin berat.

Investasi dana pensiun mesti aman. Investasi langsung ke proyek-proyek besar atau membelanjakannya dengan membeli obligasi korporasi, meski menjanjikan untung besar, sangat berisiko karena memantik iktikad buruk penyelewengan. Surat utang negara bisa menjadi pilihan investasi aman dana pensiun.

Jadi sentralisasi dana pensiun, dari kacamata pengawasan, menjadi pilihan dalam kondisi moral hazard yang selalu terbuka di BUMN. Masalahnya, Indonesia sudah punya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden ini punya mandat konstitusi menyelenggarakan jaminan perlindungan sosial, antara lain jaminan hari tua dan jaminan pensiun. 

Pendirian lembaga baru, selain boros anggaran, tak sejalan dengan niat sentralisasi pengawasan penggunaan dana pensiun karyawan BUMN. Jika tujuannya mempermudah pengawasan, integrasi dana pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan akan memudahkan perbaikan tata kelola dan pengawasan. IFG, sebagai perusahaan negara, hanya memusatkan pengelolaan dana pensiun di bawah kendali satu orang: Menteri BUMN.

Menteri adalah jabatan politis yang acap jadi rebutan partai koalisi yang berkuasa. Memusatkan pengelolaan dana pensiun ratusan triliun rupiah di bawah jabatan politis hanya akan memudahkan penyelewengan dalam satu pintu. Meski menempatkan dana publik di bawah presiden tak menjamin bersih penyelewengan, setidaknya ia dijauhkan dari mudahnya kepentingan politik mempengaruhi kebijakan dan keputusan pengelolanya.

Artikel:

Berita Lainnya