maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Hipokrasi Reformasi Polri

Reformasi Polri sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Mengkambinghitamkan “oknum”.

arsip tempo : 171397179863.

Hipokrasi Reformasi Polri. tempo : 171397179863.

JIKA ada jargon yang kosong makna, salah satunya mungkin “reformasi Polri”. Dua dekade lebih sejak reformasi Kepolisian RI dimulai, kita terus mendengar seruan itu setiap kali muncul cerita polisi tercela. “Reformasi Polri” tampaknya telah menjadi mantra pengusir penyakit, meski penyakit sebenarnya tak pernah benar-benar diobati. 

Berbagai kejahatan yang melibatkan polisi terus terjadi. Di antaranya kasus pelarian Joko Tjandra, pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, peredaran narkotik oleh Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dan juga Komisaris Besar Yulius Bambang Karyanto, pengoperasian tambang ilegal Ismail Bolong, pemerkosaan remaja oleh polisi di beberapa daerah, serta penembakan terhadap penduduk oleh polisi mabuk di Nusa Tenggara Timur. Yang terbaru, Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun diduga menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah berkat memakelari perkara. 

Daftar itu makin panjang jika kita menengok data Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Di kedua lembaga itu, jumlah laporan pelanggaran oleh polisi selalu menjadi salah satu yang terbanyak. Dalam hal pelanggaran HAM, penyerangan penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dengan gas air mata, yang memicu kematian lebih dari 130 orang, adalah contoh paling nyata dan mutakhir. Jika reformasi Polri yang digulirkan lebih dari 20 tahun lalu berhasil, semestinya berbagai kasus tersebut tak muncul.

Selama ini polisi menyebut pelaku pelbagai kejahatan itu sebagai “oknum”. Sanggahan semacam ini menutupi akar masalah sebenarnya, yakni persoalan struktural dan kultural di kepolisian. “Oknum” muncul karena kewenangan besar yang tak dibarengi pengawasan, sikap permisif terhadap gratifikasi, tumbuhnya kultur kekerasan, hingga hubungan patron-klien atasan dan bawahan yang melahirkan budaya setoran dan cari muka. 

Akibatnya, inkompetensi, ketidakprofesionalan, dan pembiaran berkembang, yang menyebabkan polisi makin jauh dari reformasi. Alih-alih menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, polisi menjadi pengabdi kekuasaan. Seruan “reformasi Polri” akhirnya hanya menjadi madu di bibir. 

Perintah Presiden Joko Widodo kepada perwira menengah dan tinggi polisi di Istana pada Oktober 2022 hanya menjadi seremoni. Presiden tak menukik ke inti persoalan: mengambil langkah politik untuk menghentikan budaya korupsi di lembaga itu. Anjuran Jokowi agar perwira polisi tidak bergaya hidup mewah diikuti para jenderal, istri, dan keluarga hanya menyetop pamer kekayaan di media sosial. 

Menghadapi pelbagai sorotan, polisi sibuk memperbaiki indeks kepercayaan publik lewat survei. Kita tahu persepsi publik adalah variabel yang dipengaruhi banyak hal dan tidak sepenuhnya didasari pengetahuan responden pada obyek yang dinilainya. Lebih konyol lagi, pada bagian lain, indeks didapat dari percakapan di media sosial yang dalam praktiknya dapat dimobilisasi oleh polisi sendiri. 

Reformasi Polri perlu komitmen kuat dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Polri, dan segenap pemangku kepentingan. Mengharapkan polisi menjadi baik tapi diam-diam menikmati praktik lancung aparatur penegak hukum itu merupakan sikap hipokrit yang nyata.

Artikel:

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024

  • 31 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan