Hipokrasi Reformasi Polri

Reformasi Polri sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Mengkambinghitamkan “oknum”.

Tempo

Minggu, 15 Januari 2023

JIKA ada jargon yang kosong makna, salah satunya mungkin “reformasi Polri”. Dua dekade lebih sejak reformasi Kepolisian RI dimulai, kita terus mendengar seruan itu setiap kali muncul cerita polisi tercela. “Reformasi Polri” tampaknya telah menjadi mantra pengusir penyakit, meski penyakit sebenarnya tak pernah benar-benar diobati. 

Berbagai kejahatan yang melibatkan polisi terus terjadi. Di antaranya kasus pelarian Joko Tjandra, pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, peredaran narkotik oleh Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dan juga Komisaris Besar Yulius Bambang Karyanto, pengoperasian tambang ilegal Ismail Bolong, pemerkosaan remaja oleh polisi di beberapa daerah, serta penembakan terhadap penduduk oleh polisi mabuk di Nusa Tenggara Timur. Yang terbaru, Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun diduga menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah berkat memakelari perkara. 

Daftar itu makin panjang jika kita menengok data Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Di kedua lembaga itu, jumlah laporan pelanggaran oleh polisi selalu menjadi salah satu yang terbanyak. Dalam hal pelanggaran HAM, penyerangan penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dengan gas air mata, yang memicu kematian lebih dari 130 orang, adalah contoh paling nyata dan mutakhir. Jika reformasi Polri yang digulirkan lebih dari 20 tahun lalu berhasil, semestinya berbagai kasus tersebut tak muncul.

Selama ini polisi menyebut pelaku pelbagai kejahatan itu sebagai “oknum”. Sanggahan semacam ini menutupi akar masalah sebenarnya, yakni persoalan struktural dan kultural di kepolisian. “Oknum” muncul karena kewenangan besar yang tak dibarengi pengawasan, sikap permisif terhadap gratifikasi, tumbuhnya kultur kekerasan, hingga hubungan patron-klien atasan dan bawahan yang melahirkan budaya setoran dan cari muka. 

Akibatnya, inkompetensi, ketidakprofesionalan, dan pembiaran berkembang, yang menyebabkan polisi makin jauh dari reformasi. Alih-alih menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, polisi menjadi pengabdi kekuasaan. Seruan “reformasi Polri” akhirnya hanya menjadi madu di bibir. 

Perintah Presiden Joko Widodo kepada perwira menengah dan tinggi polisi di Istana pada Oktober 2022 hanya menjadi seremoni. Presiden tak menukik ke inti persoalan: mengambil langkah politik untuk menghentikan budaya korupsi di lembaga itu. Anjuran Jokowi agar perwira polisi tidak bergaya hidup mewah diikuti para jenderal, istri, dan keluarga hanya menyetop pamer kekayaan di media sosial. 

Menghadapi pelbagai sorotan, polisi sibuk memperbaiki indeks kepercayaan publik lewat survei. Kita tahu persepsi publik adalah variabel yang dipengaruhi banyak hal dan tidak sepenuhnya didasari pengetahuan responden pada obyek yang dinilainya. Lebih konyol lagi, pada bagian lain, indeks didapat dari percakapan di media sosial yang dalam praktiknya dapat dimobilisasi oleh polisi sendiri. 

Reformasi Polri perlu komitmen kuat dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Polri, dan segenap pemangku kepentingan. Mengharapkan polisi menjadi baik tapi diam-diam menikmati praktik lancung aparatur penegak hukum itu merupakan sikap hipokrit yang nyata.

Artikel:

Berita Lainnya