Autopilot Layanan Bisnis Otobus

Tingginya jumlah peminat segmen layanan premium membuat industri otobus bergeliat. Perlu keberpihakan pemerintah.

Tempo

Minggu, 1 Januari 2023

ADA yang menggeliat di industri bus. Para pemain besar bisnis transportasi darat ini sedang gencar menambah armada kelas premium. Peminat angkutan bus mewah, yang tarifnya lebih murah dibanding pesawat atau kereta api, membeludak di tengah pelonggaran kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat setahun terakhir. Segmen layanan ini menjadi ceruk pasar baru bagi bisnis otobus yang sudah lama megap-megap.

Kembali menggeliatnya bisnis otobus tersebut tentu menggembirakan bagi perekonomian. Dampaknya sudah terlihat di hulu industri otomotif. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat, sepanjang Januari-November 2022, angka penjualan retail bus mencapai 2.836 unit. Meski belum menyamai rapor tahunan sebelum masa pandemi Covid-19 yang menyentuh 3.600-an unit, penjualan tersebut dua kali lipat lebih banyak dibanding pada 2021.

Kinerja pabrikan sasis dan karoseri pun ikut terkerek. Produksi bus hingga akhir November 2022 mencapai 1.818 unit, naik 49 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini adalah pertumbuhan produksi bus pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Pada dua tahun pertama masa pagebluk, produksi bus ambles seiring dengan merosotnya jumlah pengguna layanan moda angkutan ini.

Pulihnya permintaan layanan angkutan bus dalam setahun terakhir memang belum cukup menjamin bisnis bus kembali sehat dan menguntungkan. Peningkatan kualitas armada dan pelayanan hanya bisa dilakukan oleh segelintir perusahaan otobus bermodal jumbo. Sebagian besar pelaku industri ini di penjuru daerah masih berkutat dengan problem klasik, yakni bertahan hidup, belum menyentuh perbaikan layanan.

Buruknya layanan yang menggerus pamor bus angkutan itu bukan semata-mata kesalahan pelaku usaha. Selama bertahun-tahun pemerintah tak pernah serius membenahi buruknya tata niaga pada subsektor transportasi darat ini. Data mutakhir jumlah penumpang angkutan bus di semua terminal tipe A saja entah ada di mana.

Selama ini, kinerja pemerintah di sektor angkutan bus didominasi urusan pembangunan prasarana transportasi, seperti terminal dan jalan raya—yang sebenarnya juga tak prima. Pengawasan kualitas layanan hanya diukur dari pengecekan berkala kelaikan armada dan jumlah kecelakaan bus saban tahun. Berbagai indikator standar kualitas layanan dan keselamatan, seperti yang diberlakukan ketat terhadap industri penerbangan dan perkeretaapian, tak berlaku di sektor jasa angkutan ini. Bak autopilot, nasib bisnis otobus benar-benar diserahkan kepada tiap operator.

Maka wajar bisnis otobus mengerut jauh sebelum Covid-19 mewabah. Pada 2019, jumlah bus antarkota antarprovinsi di Indonesia tersisa 12.367 unit, menyusut hampir separuh dibanding tiga tahun sebelumnya. Ironisnya, senjakala angkutan bus jarak jauh itu justru terjadi tatkala pemerintah Presiden Joko Widodo merampungkan pembangunan jalan tol baru sepanjang 1.652,5 kilometer, dua kali lebih panjang dibanding era empat presiden sebelumnya.

Jika pemerintah tak pernah berpihak kepada tumbuhnya angkutan bus yang berkualitas dan menjangkau semua kelas masyarakat, untuk siapa sebenarnya infrastruktur jalan itu? Keberpihakan adalah kunci pemerataan dalam gairah baru bisnis bus ini.

Artikel:

Berita Lainnya

2022

Minggu, 1 Januari 2023