Setelah Gempuran Batik Printing

SEJAK mendapat pengakuan dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, sebagai warisan budaya non-bendawi pada 2 Oktober 2009, batik kian menjadi primadona. Batik menjadi pakaian yang dikenakan semua kalangan dalam berbagai kesempatan. Pasar batik juga makin bergairah. Batik marak dijual di kios-kios pasar tradisional, pusat belanja, juga toko online. Gairah batik yang menggelora itu kemudian memunculkan fenomena merajalelanya batik printing, yakni tekstil bermotif batik yang diproduksi mesin cetak. Gempurannya menggilas batik tulis yang telah lama ada. Di tengah serbuan batik printing, sejumlah perajin batik tulis terus bertahan dengan langkah kreatif masing-masing. Ada yang menjalankan produksi secara mandiri dari hulu hingga hilir, berinovasi dengan memakai pewarna alami, dan ada pula yang mengembangkan motif-motif baru dengan rumus fraktal.

Tempo

Jumat, 5 Oktober 2018

TANGGAL 2 Oktober 2009 menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan batik Nusantara. Pada hari itu, batik mendapat pengakuan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya non-bendawi. UNESCO mengakui batik mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas orang Indonesia dari lahir sampai meninggal.

Setelah pengakuan dari lembaga dunia itu, 2 Oktober ditetapkan sebagai Ha

...

Berita Lainnya