Suara logam beradu terdengar nyaring bersahutan dari sebuah rumah di tengah Desa Landungsari, Pekalongan Timur, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa pertengahan September lalu. Di bengkel kecil beralas tanah, Miftahul Aziz menghantam cepat lempeng tembaga berwarna cokelat kemerahan di atas bantalan tongkat besi hingga membentuk canting dengan pucuk mencuat lurus. Di hadapannya, sang adik, Aminudin, menggosok satu per satu canting. Perlahan dia membengkokkan pucuk-pucuk canting. “Kalau terlalu keras ditekan, canting bisa patah atau mampet dan tak bisa dipakai,” kata Aminudin.
Khozazi Pengrajin canting saat melakukan proses pembakaran, di Desa Kuripan Lor,Pekalongan,Jawa Tengah,24 September 2018. -TEMPO/Fakhri Hermansyah. tempo : 173077708371.
AZIZ dan Aminudin adalah keluarga pembuat canting yang tersisa di Landungsari. Mereka mendapatkan pengetahuan membuat canting dari sang ayah, Khozazi. Meski usianya menginjak 78 tahun, Khozazi masih sigap memanggang dan menempa canting. Ia pun memperoleh ilmu membuat canting dari ayahnya, Ahmad Hasan. “Ini jadi seperti warisan keluarga untuk mempertahankan canting,” ucap Aziz.
Canting ibarat senjata utama para perajin batik tulis. L
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.