Cimahi Menangani Sampah dari Hulu

DLH Kota Cimahi menjalankan tiga langkah penanganan sampah yang melibatkan partisipasi warga di 312 RW hingga siswa sekolah

Iklan

Minggu, 30 Juni 2024

Pemerintah Kota Cimahi belajar dari kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, 2023 silam. Saat bencana itu berlangsung, sampah di pemukiman menumpuk dan tidak bisa diangkut petugas. Kota dengan jumlah populasi 570 ribu orang itu mendadak bau dan kumuh.

Mencegah peristiwa berulang, Dinas Lingkungan Hidup atau DLH Kota Cimahi akhirnya membuat peta jalan penangan sampah. Pasalnya, setiap hari TPA Sarimukti harus menampung sekitar 226 ribu ton sampah dari seantero kota.

Dalam peta jalan itu, DLH Kota Cimahi memilih penanganan di sektor hulu melalui tiga langkah. Pertama disebut Grak Ompimpah, singkatan dari Gerakan Orang Cimahi Pilah Sampah. Metodenya sebagai berikut: DLH Kota Cimahi memilih empat orang di setiap rukun warga (RW) sebagai petugas penyuluhan, mengedukasi warga untuk memilah sampah organik dan anorganik dari rumah tangga.

Setiap petugas itu mendapat upah Rp 250 ribu per bulan. “Ada 312 RW di Kota Cimahi. Jadi setiap bulan kami harus menganggarkan 312 juta rupiah,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, Chanifah Listyarini, dalam Diskusi Nasional Peduli Sampah di Gedung Tempo, Kamis, 27 Juni 2024. 

Gerakan ini juga dibantu penguatan hukum atau law reinforcement. “Kami melakukan beberapa kali penindakan tipiring (tindakan pidana ringan), dan ternyata bisa memidanakan kurang lebih 465 pelanggar,” ujar Chanifah.

DLH Kota Cimahi, Chanifah melanjutkan, juga melombakan para petugas di Grak Ompimpah. Para juara dijadikan narasumber agar dapat memotivasi lebih banyak warga.

Langkah selanjutnya, sampah organik dan anorganik yang telah dipilah melalui Grak Ompimpah itu masuk tahap kedua di peta jalan penanganan sampah. “Yaitu pengelolaan di bank sampah,” ucap Chanifah.

Setiap kader bank sampah mendapat upah Rp 300 ribu, namun didorong nantinya memperoleh pendapatan sendiri dengan cara memproduksi kompos atau peternakan maggot. “Kami akan melatih mereka untuk melakukan circular economy. Nantinya kader-kader itu kalau bisa dibiayai dari uang mereka sendiri,” Chanifah menjabarkan.

Selain Grak Ompimpah dan bank sampah, langkah ketiga di sektor hulu disebut Ceu Omah (Cimahi Edukasi Olah Sampah). Melalui program ini, DLH Kota Cimahi memasifkan edukasi penanganan sampah kepada siswa PAUD. “Kami lakukan maraton penyuluhan ke sekolah-sekolah dengan alat peraga,” kata Chanifah.

Menurut dia, edukasi pada siswa PAUD sangat penting. Anak harus diajarkan sejak usia dini agar terbiasa menangani sampah dengan benar. Bahkan, anak-anak tersebut nantinya dapat menjadi agen perubahan.

Chanifah menyebut, tiga langkah di sektor hulu ini langsung terasa manfaatnya. Sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti terus berkurang. Dari awalnya 226 ribu ton menjadi 170 ribu ton, “Dan sekarang sudah turun menjadi 130 (ribu ton),” ucapnya.

Dengan perkembangan signifikan itu, Penjabat (Pj) Wali Kota Cimahi Dicky Saromy, bahkan berani memasang target. “Harus zero waste di 2025,” kata Chanifah mengisahkan misi besar itu.

Rencana tersebut tentunya harus didukung penangan sampah di sektor hilir. “Kalau kita berbicara di hilir dengan teknologi apapun ada, tinggal uangnya ada nggak, kemudian memintanya bisa atau tidak?” ujarnya.

Sebab itu, ia berharap pemerintah pusat memberi bantuan pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) Plan. “Kalau kami hitung, biaya untuk mengolah (sampah) di RDF sekitar Rp 300 ribu-400 ribu per ton. Sedangkan kalau mau pakai insinerator bisa mencapai 1 juta rupiah per ton,” kata Chanifah. 

Berita Lainnya