Pelindungan Data Perdagangan Digital

Transaksi e-commerce di Indonesia menunjukkan tren peningkatan selama pandemi. Pelindungan data konsumen dalam melakukan transaksi online dinilai masih lemah.

Tempo

Sabtu, 24 Juli 2021

Transaksi digital, khususnya e-commerce, selama pandemi Covid-19 terus meningkat. Selama kuartal I-2021, transaksi perdagangan elektronik mencapai 548 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp 88 triliun.

Data Bank Indonesia menyebutkan volume transaksi e-commerce mencapai 99 persen secara tahunan (year on year) dan peningkatan nominal transaksi mencapai 52 persen secara tahunan. “Di tengah pandemi Covid-19, bisnis e-commerce di Indonesia semakin menjanjikan. Bisnis  berbasis digital ini bahkan diproyeksikan tumbuh 33,2 persen dari Rp 253 triliun pada 2020 menjadi Rp 337 triliun pada tahun ini,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam sebuah diskusi daring di Jakarta.

Bank sentral menyebut tren ekonomi digital menunjukkan perubahan sikap masyarakat selama pandemi. Masyarakat kini lebih condong melakukan transaksi online dibandingkan konvensional.

Namun, peningkatan transaksi digital ini berpotensi risiko perihal tersebarnya data pribadi konsumen di jagat maya. Presiden Joko Widodo dalam acara Indonesia Fintech Summit akhir 2020, memperingatkan para pemain financial technology (fintech) tentang potensi risiko transaksi online ini. Mulai dari kejahatan siber, ketidakakuratan informasi, kesalahan transaksi, serta penyalahgunaan data pribadi.

Lalu bagaimana pemerintah melindungi konsumen dari transaksi digital yang berpotensi merembesnya data pribadi ke pihak yang tidak bertanggung jawab. “Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk menjaga keberlangsungan ekonomi digital di Indonesia dengan cara melindungi data pribadi,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),  Semuel Abrijani Pangerapan.

Menurut Semuel, sebagai regulator, Kementerian melakukan pengawasan sesuai amanat Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti, mengatakan pemerintah harus memastikan data pribadi konsumen sektor e-commerce digunakan sesuai kepentingan perdagangan. Ira juga menyampaikan, Rancangan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi sangat mendesak dan perlu ditetapkan segera sebagai bentuk pelindungan kepada konsumen e-commerce.

Ira mengatakan lemahnya kerangka kebijakan pelindungan data pribadi membuat konsumen Indonesia bergantung pada tanggung jawab yang dilakukan mandiri. Dia mencontohkan kebijakan mandiri tersebut adalah penandatanganan kode etik bersama yang dilakukan oleh tiga asosiasi fintech yakni  Asosiasi Fintech Indonesia (AFTEC), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI).

Kebijakan mandiri ini perihal pelindungan konsumen, pelindungan privasi dan data pribadi, mitigasi risiko siber dan mekanisme minimal penanganan aduan konsumen. Padahal, isu pelindungan data pribadi yang saat ini diatur dalam peraturan dari berbagai sektor yang  menyebabkan pelaksanaan dan pengawasannya dilakukan oleh masing-masing kementerian/lembaga.

Menurut Ira, tanpa koordinasi yang kuat dari berbagai kementerian, seperti Kementerian Perdagangan dan Kemenkomifo, pengawasan pelindungan konsumen akan sulit diimplementasikan. Untuk itu, kata dia, koordinasi antarlembaga menjadi kunci dalam mewujudkan pelindungan data pribadi.

 

TIM INFO TEMPO

Berita Lainnya

Nama

Sabtu, 24 Juli 2021