Nol Deforestasi Kunci Strategi Keberhasilan Nol Emisi Indonesia

Pemerintah harus melanjutkan kebijakan moratorium sawit dan mengevaluasi kebijakan pembanguann yang berpotensi merusak hutan.

Tempo

Sabtu, 27 Maret 2021

JAKARTA –  Indonesia berpeluang mencapai visi jangka panjang yang selaras dengan Paris Agreement dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada 2020-2030 menjadi 10,7 ribu hektare per tahun hingga nol. Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia, mengatakan untuk mencapai tujuan ini berbagai kebijakan perlindungan hutan alam harus diperkuat. “Antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan,” ujarnya.

Menurut Yosi, berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektare per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. “Berdasarkan data KLHK, dari 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sekitar 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun,” tuturnya.

Namun, kata Yosi, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011, yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 mencapai minus. “Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” kata dia.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070. Target ini lebih lambat 20 tahun dari yang diserukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement - LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030.

“Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian,” kata Yosi.

GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal, mengatakan berdasarkan analisis awal Madani, sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 kali Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Fadli, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti food estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di area of interest food estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar Rp209 triliun yang harus dilindungi,” tuturnya.

Menurut Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi hutan tanaman industri dan usaha perkebunan sawit harus menjadi perhatian. “Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021,” kata dia.

Menurut Trias, pemerintah harus melanjutkan kebijakan moratorium sawit. “Karena kebijakan itu memuat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit yang sangat penting bagi pencapaian visi jangka panjang Indonesia,” ujarnya.

Untuk mencapai visi jangka panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif, di dalam dan di luar kawasan hutan, untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh.

“Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.(*)

Inforial

Berita Lainnya