Takdir

Pada 1935, seorang penyair Indonesia berumur 27 tahun angkat bicara atas nama generasinya, ketika ia menulis sebuah sajak yang kemudian terkenal:

Tempo

Sabtu, 22 September 2018

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun,

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun,

dari mimpi yang nikmat.

 

Ombak ria berkejar-kejaran

di gelanggang biru di tepi langit.

Pasir rata berulang di kecup,

tebing curam ditentang diserang,

dalam bergurau bersama angin,

dalam berlomba bersama mega.

 

Sejak itu jiwa gelisah

selalu berjuang tiada reda.

Ketenagan lama se

...

Berita Lainnya