RAKYAT kecil yang tergusur dari kawasan kumuh Kota Jakarta mendadak mendapat simpati masyarakat Sydney, Australia. Orang-orang gembel yang hidup melata bak kecoa itu, Selasa lalu, berusaha mempertahankan nasib mereka sembari memprotes. Bagi masyarakat Australia yang "liberal" (dan semestinya juga bagi masyarakat Indonesia yang berbudaya), keberanian melawan kekuasaan yang dianggap tidak adil itu patut dipuji -- meski hanya terjadi di panggung. Barangkali itulah sebabnya gedung Belvoir Street Theatre di kawasan Surry Hills, Sydney, malam itu dipadati penonton. Dengan antusias mereka menyaksikan Opera Kecoa, repertoar karya N. Riantiarno yang diinggriskan oleh John MacGlynn menjadi Cockroach Opera. Uniknya, dari 13 pemain, hanya empat yang memainkan peran tunggal. Selebihnya bermain ganda. Bree-an Munns, misalnya, memerankan Tibal (kakak Tuminah), penagih uang sewa rumah, tukang potret, dan banci. Sutradara Mark Gaal dan koreografer Raymond Blanco juga dengan pintar mengganti adegan-adegan panjang dengan tari dan nyanyi. Ditampilkan pula grup tari nyanyi Aborigin tradisional, Aboriginal and Islanders Dance Theatre. Tariannya menggambarkan sikap bertahan dan keuletan melawan dari masyarakat kelas bawah yang diceritakan oleh Riantiarno. Mereka (Bree-an Munns, Dujon Nue, Matthew Doyle, Gary Lang, Marilyn Miller) menyanyi, menari, dan melakukan akting. Sutradara Mark Gaal memang menggarapnya untuk mencerminkan masyarakat Australia yang multiras. "Kalau teater mencerminkan dunia sekitar kita, kita harus realistis menggambarkan dunia nyata itu. Bukankah masyarakat Australia ini multi etnis?" katanya. Yang unik lagi ialah tampilnya Audie Espio yang memerankan Julini -- yang menggugah rasa haru dan mengundang gelak. Ia memang banci yang biasa mentas di klub-klub di Sydney. Pementasan ini niscaya mempunyai arti istimewa. Naskah dipentaskan di gedung yang bergengsi, Belvoir Street Theatre, yang biasa menggelar repertoar berbobot. Dan yang mementaskan ialah grup teater garda depan, yang namanya tak bisa dilepaskan dari gedung teater itu, yaitu Belvoiar Street Theatre Company. Dan bagi peminat kesenian (yang serius) di Australia, khususnya para seniman kontemporernya, pementasan itu juga mempunyai arti khusus. Selama ini mereka hanya mementaskan naskah para pengarang Eropa, khususnya Inggris, yang memang lebih akrab dengan budaya mereka. Walaupun secara geografis mereka lebih dekat dengan Asia, sebelumnya mereka masih sulit mengunyah naskah-naskah Asia karena dianggap terlalu sulit untuk disuguhkan kepada penonton Australia. Tapi rupanya ada orang teater, yang cukup punya nama, yang berpendapat lain. Ia adalah Kerry Walker. Baginya, dan tentunya juga bagi kalangan seniman lainnya, sebuah karya yang baik harus dapat dipentaskan di mana saja dan di depan penonton mana saja -- seperti halnya naskah Shakespeare. Perbedaan budaya tentu ada dan harus bisa diatasi dan tidak boleh menutup rasa kemanusiaan, sebab banyak perasaan dasar yang sama dan universal seperti rasa marah, kecewa, sakit, gembira, bahagia, lapar. Kerry Walkerlah yang mula pertama menawarkan Opera Kecoa ini untuk dipentaskan, karena katanya menyentuh hati dan mudah dimengerti oleh penonton Australia. Tetapi karena terjemahan John MacGlynn, menurut dia, agak bergaya Amerika, terjemahan Inggrisnya diubah sedikit hingga lebih bergaya Australia. Dan MacGlynn tidak keberatan. Seting ceritanya juga ditempatkan pada tahun ini, hingga lebih realistis. Karena itu, meski tema dan cerita Cockroach Opera tetap sama dengan Opera Kecoa, ada beberapa perubahan. Misalnya, naskah asli sepanjang tiga babak dipersingkat menjadi dua babak. Ilustrasi musiknya juga diubah, diganti dengan musik yang lebih akrab dengan kuping Australia, dengan menampilkan karya Stephen Rae, yang diciptakan khusus dan merupakan bagian integral dari pementasan ini. Seperti halnya Kerry, sutradara Mark Gaal juga tertarik pada temanya yang "mengetuk hati nurani", konflik antara rakyat kecil dan penguasa. "Kita memang harus membuka mata untuk melihat apa yang terjadi di sekitar kita, dengan mementaskan repertoar seperti Opera Kecoa ini," katanya. Sejarah Belvoir Street Theatre sendiri sangat menarik, dan mencerminkan martabat kesenian yang disuguhkan di sana. Semula tempat itu bernama Nimrod Theatre, dan sudah lama diminati masyarakat intelektual dan budayawan. Tetapi pada tahun 1984 hampir bangkrut, hingga pemilikinya, Nimrod Theatre Company, memutuskan untuk meruntuhkannya untuk diganti dengan gedung parkir bertingkat. Maka, tampillah ratusan intelektual, budayawan, dan kalangan pers ramai-ramai mengumpulkan dana. Para seniman garda depan, termasuk para bintang film seperti Mel Gibson, Judy Davis, ikut menyelamatkannya. Belakangan nama gedung itu diganti Belvoir Street Theatre -- khusus untuk mementaskan karya-karya klasik dan kontemporer yang nyeni, tidak semata-mata mencari untung. Budiman S. Hartoyo dan Dewi Anggraeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini