Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada yang Mengusik Kebebasan Seni di Yogya

3 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENTAS tari dan musik berjudul Maknawi Kidung Maria karya koreografer kawakan Martinus Miroto batal tampil. Tari ciptaan Miroto itu sedianya akan mengisi pembukaan pameran lukisan wayang jalan salib bertajuk Lurung Kamulyan ciptaan Petrus Agus Herjaka di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 23 Juli lalu. Polisi menghentikan pameran dengan alasan kegiatan itu tidak berizin. Diduga ada ancaman dari kelompok organisasi kemasyarakatan tertentu. Lima hari sebelumnya, tepatnya pada 17 Juli, di Tolikara, Papua, memang terjadi insiden kerusuhan bermotif agama.

Wartawan Tempo Shinta Maharani dan fotografer Pius Erlangga menemui dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu di Studio Tari Banjarmili, Sleman, Selasa, 28 Juli lalu. Miroto menjawab pertanyaan ditemani istrinya, Tri Yuliyanti Setyasari.

Kenapa pentas tari itu batal?

Saya tidak hadir saat pembukaan acara pameran lukisan di Tembi karena ada agenda di Jakarta. Istri dan anak saya, Bunga Seouli, 10 tahun, memberi tahu bahwa pentas itu batal. Bunga Seouli rencananya ikut pentas. Istri saya mengatakan polisi melarang karena pameran tidak punya surat izin dari polisi.

Pentas tari itu bercerita tentang apa?

Tari ini terinspirasi dari struktur relief Candi Borobudur. Ada tiga lapis tingkat kesadaran spiritual manusia. Tingkat paling rendah, kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat hawa nafsu. Sosok Buto Cakil dalam pentas melambangkan hal ini.

Tingkatan kedua, rupadhatu, manusia berada pada tingkatan yang lebih baik. Tingkatan ketiga, arupadhatu, melambangkan manusia bebas dari segala keinginan. Pada tingkat paling atas ini, saya tampilkan sosok Maria. Penampil hampir tidak melakukan gerakan atau seperti patung.

Pentas Anda rencananya dibantu umat Gereja Katolik?

Umat Gereja Katolik St Maria Assumpta, Gamping, Sleman, punya ide membantu. Umat dan paduan suara ini biasa diundang untuk acara mantenan atau kematian. Saya tak ada pretensi apa pun. Saya berusaha menggarapnya secara serius dengan tetap mengusung idealisme dalam seni. Ini biasa saya lakukan. Selama dua pekan kami berlatih di Studio Banjarmili. Mereka sangat antusias.

Bagaimana komposisi penari?

Penampil ada 35 orang, terdiri atas bocah, remaja, dan ibu-ibu. Penampil sebagian besar dari Gereja Katolik St Maria Assumpta, Gamping, Sleman. Penampil tidak hanya beragama Katolik. Ada yang Islam juga. Kami tak pernah mengkotak-kotakkan agama. Seni tak membeda-bedakan agama seseorang. Saya pernah diminta terlibat dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran. Bagi saya, tak ada persoalan.

Apakah Anda menyertakan simbol agama di panggung?

Tidak ada simbol agama. Kami menggunakan kostum biasa, ikat kepala, jarit, lurik, dan topeng Buto Cakil. Saya kira Islam juga mengenal Siti Maryam. Pentas ini menggambarkan ada seorang perempuan menari diiringi lagu. Dia hanya menari, tidak ada khotbah. Jadi tak ada pretensi syiar agama tertentu. Maria itu universal. Bisa dipakai siapa saja.

Katanya ada ancaman organisasi kemasyarakatan tertentu?

Mereka keberatan itu hak mereka. Tapi, kalau sampai mengancam, itu menandakan intoleransi. Saya bersedia berdialog dengan mereka. Kalau perlu, saya menari untuk mereka. Saya bisa menggunakan perspektif mereka yang keberatan terhadap pentas itu. Biar saya juga belajar tentang apa yang mereka mau.

Polisi mengatakan pentas tidak berizin....

Saya mau duduk bersama mereka. Dialog melibatkan orang dari Tembi, polisi, seniman, dan kalangan yang keberatan. Ini penting supaya semua sama-sama belajar. Polisi semestinya berada di tengah dan bisa menjelaskan kepada orang yang keberatan terhadap acara itu. Pentas seni itu akan digelar di rumah budaya. Masuk ke sana, ya, gunakan kacamata budaya. Saya menyayangkan polisi yang tidak menggunakan pemahaman itu. Polisi terkesan takut menghadapi ancaman. Saya menghubungi General Manager Tembi Rumah Budaya, Basmara Pradipta. Dia mengatakan, menurut polisi, tari tetap tidak bisa dipentaskan karena sudah jadi keputusan Jakarta. Alasannya, situasi tidak kondusif.

Tanggapan Anda?

Saya melihat ada persoalan serius yang mengusik kebebasan berkesenian di Yogyakarta. Ancaman kelompok tertentu itu efektif menebar ketakutan. Pemerintah semestinya berpikir keras menyelesaikan masalah ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus