Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sriledhek melemparkan selendang merah panjangnya, tapi Tuan Ledhek, suaminya, menepis selendang itu dan beranjak pergi. "Andhika ingkang sampun nyeblakake sampur/Andhika ingkang badhe kesampur (Kamu yang telah melempar selendang/Kamu yang bakal terlempar)," primadona ledhek itu menyemburkan kemarahannya. Layar di belakang panggung menampilkan gambar tanah kering yang retak-retak. Dua jari mencuat di sela retakan itu, menunjuk ke langit.
Ini titik balik hubungan Sriledhek (pesinden Sruti Respati) dan Tuan Ledhek (Anggono Kusumo Wibowo, penari dan koreografer Institut Seni Indonesia Surakarta). Hubungan yang retak itu jadi makin rumit ketika Hanoman (penari Heru Purwanto), monyet kelompok ledhek tersebut, terpikat pada Sriledhek. Tuan Ledhek, yang kejam, lalu memaksa Hanoman bersetubuh dengan Sriledhek sebagai penawar bagi wabah yang melanda sebuah desa. Puncaknya, Sriledhek, dibantu Hanoman, membunuh sang tuan dengan jerat selendang merah.
Kisah itu disajikan sutradara Garin Nugroho dalam teater-tari Selendang Merah di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu-Minggu dua pekan lalu. Ini bagian terakhir dari trilogi Opera Jawa, setelah Ranjang Besi dan Tusuk Konde. Pertunjukan sepanjang sekitar 2 jam ini didukung 11 penari dan 12 pengrawit. Aransemen musiknya digarap Rahayu Supanggah, guru besar etnomusikologi ISI Surakarta, yang juga menangani dua opera sebelumnya. Dua bersaudara pesinden, Sruti dan Endah Laras, jadi bintang utama bersama Anggono dan Danang Pamungkas, yang juga menggarap tata tarinya.
Opera ketiga ini berbeda dari dua opera sebelumnya, yang masih berkait dengan epos Ramayana. Selendang Merah seakan-akan berdiri sendiri. Satu-satunya hal yang masih menunjukkan keterkaitannya adalah tema perselingkuhan dan sensualitas. Bagi Garin, sensualitas merupakan bagian dari kesenian tradisi Jawa.
Karya ini meminjam bentuk langendriyan, drama tari Jawa yang menitikberatkan tari dan seni suara, yang digarap secara kontemporer. Hanya, unsur gerak banyak mendasarkan diri pada gerak tari Jawa Timur, yang lebih tegas, ketimbang gaya Solo dan Yogyakarta, yang lebih halus. Betapapun gerak lebih terbuka, pada beberapa adegan tetap berlangsung konvensional. Misalkan adegan persetubuhan Sriledhek dan Hanoman. Adegan yang dilakukan dalam gerak kontemporer, seperti merangkul, memanggul, berpelukan, dan gerak akrobatik, nyaris datar.
Terjunnya Garin ke dunia koreografi tari menunjukkan bahwa koreografi kini tak dimonopoli orang yang berlatar belakang tari. Koreografi adalah sebuah penciptaan terbuka. Seniman-seniman dari berbagai disiplin, dari seni rupa sampai sinema, sah mencipta karya tari dengan pendekatan disiplin masing-masing. Dengan begitu, diharapkan dapat menambahkan kekayaan dunia tari dan tari akan mendapat inovasi yang radikal yang memperluas pemaknaan definisi tari.
Tiga karya Garin harus diakui cukup menarik. Persoalannya, beberapa kalangan melihat apa yang dia tampilkan dalam trilogi Opera Jawa tetap sesuatu yang sebagaimana biasa ditemui dalam tari. Imaji-imaji dan fantasinya tak berbeda jauh dengan imaji kalangan tari. Tidak ada kejutan-kejutan yang bertolak dari disiplin sinema yang dimilikinya. "Garin berasal dari disiplin film. Seharusnya ia melihat koreografi dengan cara lain. Trilogi Opera Jawa hanya mengambil apa yang sudah ada dalam tari," kata Afrizal Malna, penyair.
Kurniawan, Ahmad Rafiq, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo