maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Demonstrasi Kawal Putusan MK

Polisi bertindak brutal dalam menangani demonstrasi kawal putusan MK. Ke mana Presiden dan Wakil Presiden?

arsip tempo : 172651291189.

Surat Pembaca. tempo : 172651291189.

JIKA saja para politikus Dewan Perwakilan Rakyat tidak membangkang atas putusan Mahkamah Konstitusi, mungkin situasi Indonesia saat ini masih aman. Buntut rencana jahat para politikus merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tanpa mengindahkan suara rakyat menyebabkan masyarakat geram dan berdemonstrasi di berbagai kota hingga berhari-hari. 

Dari Riau, kami menyaksikan saudara-saudara kami di Jakarta, Semarang, Banjarmasin, dan kota-kota lain menjadi korban kebrutalan aparat kepolisian yang menangani unjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo. Berita dan videonya viral di media sosial, khususnya Instagram.

Saya jengkel karena Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendiamkan situasi ini. Jika Presiden Jokowi malu bertemu dengan rakyat yang berunjuk rasa, minimal Ma'ruf Amin menggantikannya. Apakah pekerjaan wakil presiden cuma hadir dalam berbagai acara peresmian? 

Lalu siapa yang bisa kita salahkan atas aksi unjuk rasa di pengujung bulan Kemerdekaan Republik Indonesia ini? Apakah Presiden Jokowi yang ngebet anak bungsunya sukses di pilkada 2024? Atau para politikus DPR yang ingin menjegal tokoh-tokoh yang berpotensi memenangi pilkada?

Hardi Yan
Tembilahan, Riau 

Politikus Oportunis

HAROLD Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat, pencetus teori komunikasi, dan profesor di Yale University, mengatakan, “politik memang urusan siapa yang mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana”. Pernyataan Lasswell tecermin dalam politik di Indonesia dan kita bisa lihat kembali saat Pemilihan Umum 2014 dan 2019. Partai-partai yang sebelumnya berlawanan dan kalah dalam pemilu ramai-ramai merapat ke kubu pemenang tanpa rasa malu demi mendapat pembagian porsi kekuasaan. Mereka mengabaikan kepercayaan rakyat yang telah memberi suara untuk mereka.

Tahun 2024, kita semua berharap akan ada perubahan dan sistem politik berjalan sesuai dengan koridor berpolitik yang sehat dan mengutamakan etika. Ada yang mengontrol dan dikontrol. Namun yang terjadi malah jauh tidak masuk akal. Bukan hanya merapatnya pihak yang kalah ke pihak pemenang dengan tanpa rasa bersalah, tidak peduli etika berpolitik, banyak pula peraturan serta undang-undang yang diakali agar menguntungkan pihak-pihak tertentu demi melanggengkan kekuasaan. Bahkan hal ini sampai menimbulkan gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat berupa demonstrasi di Jakarta dan berbagai kota besar lain di Indonesia. Barangkali akal-akalan untuk mengubah berbagai peraturan dan undang-undang akan terus dilakukan apabila tidak ada penolakan masyarakat.

Sampai 1998, kehidupan berpolitik di Indonesia tidak sehat karena dikendalikan dan dikontrol pemerintah Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang, semua orang bisa menjadi politikus dan sekaligus mendirikan partai politik. Artinya, sudah 26 tahun para politikus belajar berpolitik yang baik dan benar dengan segala risikonya. Apakah mereka akan menjadi bagian dari pemerintah atau di luar pemerintahan. Tapi yang terjadi adalah partai politik didirikan sekadar untuk mengejar kekuasaan dan para politikus hanya mencari kekayaan.

Namun Lasswell juga menegaskan, “politikus yang efektif harus mampu mengedepankan motif dan kepentingan publik daripada urusan pribadi”. Sebaiknya para politikus kita meresapi dan merenungkan ucapan Lasswell. Kapan hal tersebut terwujud di Indonesia? 

Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat

Soal Indonesia Emas 2045

PERINGATAN Hari Kemerdekaan sudah berlalu. Ibarat pesta kawin raja-raja, Hari Kemerdekaan kali ini dirayakan dengan beragam kemewahan. Sebuah pesta senantiasa lepas dari alam nyata keseharian. Masalah tengkes (stunting), guru yang kesejahteraannya tak kunjung ditingkatkan, pemutusan hubungan kerja, gangguan keamanan, ketimpangan sosial, dan banyak lainnya seolah-olah sirna sesaat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sumber daya manusia bermutu dapat terbangun saat masyarakat didominasi orang muda yang produktif dan orang tua yang berkecukupan secara ekonomi. Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, berkali-kali mengingatkan kita jangan sampai telanjur tua sebelum menjadi kaya. Bermimpi mencapai Indonesia Emas 2045 adalah wajar. Tapi seyogianya hal ini diimbangi dengan pemimpin yang memiliki wawasan luas dan empati serta mengerahkan segenap kecerdasan.

Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta

Setelah Upacara Kemerdekaan

IBARAT manusia, Indonesia sudah lumayan matang. Namun saat ini Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah cukup banyak. Ada masalah korupsi, hukum, hingga nepotisme. Yang tak kalah seru adalah masalah sosial-ekonomi, terutama kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Indonesia masih berada di angka 25,2 juta. Penurunan tingkat kemiskinan masih di bawah 1 persen, sangat kecil dan belum membawa perubahan yang signifikan dibanding target 6 persen.

Seorang pedagang sayur di pasar mengatakan dia bersyukur bila dalam sehari memperoleh untung bersih Rp 20 ribu. Cukup untuk makan sehari. Apalagi dia berpegang pada falsafah Jawa “nrimo ing pandum” (menerima apa yang dibagikan). Jumlah tersebut sesuai dengan nilai garis kemiskinan Indonesia Rp 19.400 per hari.

Ada tiga strategi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, yaitu pengurangan beban pengeluaran masyarakat seperti melalui bantuan langsung tunai dan bantuan sosial, peningkatan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat, serta pengurangan jumlah kantong kemiskinan.

Dari ketiganya, yang paling “berhasil” adalah bantuan langsung tunai. Kita bisa saksikan pada tanggal tertentu ada antrean panjang warga di bank pemerintah atau kantor pos. Mereka setia dan sabar menanti kucuran dana BLT sejak pagi sampai siang. Sangat miris melihat mereka sebagai pihak dengan “tangan di bawah”, bukan “tangan di atas”.

Ada pendapat masyarakat bukan tak berdaya, tapi tidak memiliki kesempatan produktif. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya sehingga produktivitas masyarakat bisa dimanfaatkan. Di sisi lain, hal itu dapat mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan pendapatan.

Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 15 September 2024

  • 8 September 2024

  • 1 September 2024

  • 25 Agustus 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan