Nepotisme dalam Filsafat Jawa
Wajar jika seseorang ingin anak dan karibnya mendapat kedudukan. Tapi ya jangan melanggar etika, hukum, dan kewajaran.
SUASANA politik yang memanas akhir-akhir ini, bila dilihat secara filosofis, bisa mengundang senyum. Masyarakat Jawa, apalagi di masa lalu, melihat seseorang sebagai mitra kerja, pemimpin, dan bahkan jodoh melalui konsep bibit, bebet, bobot. Bibit sudah jelas. Bebet menyangkut kemampuan komunikasi, dinilai positif, disegani, dan dihormati oleh komunitas. Sementara bobot adalah kualitas, sikap, dan perilaku, termasuk kualitas edukasi, kematangan emosional, kecerdasan, dan kreativitas.
Filosofi Jawa lain yang bisa dikaitkan dengan hal di atas adalah “ngono yo ngono, ning ojo ngono” (begitu ya begitu, tapi ya jangan begitu). Suatu kewajaran bila seseorang ingin dirinya, keluarganya, atau teman karibnya memperoleh kedudukan tinggi. Namun nafsu ataupun ambisi yang demikian jangan melewati batas kewajaran serta melanggar etika, hukum formal, norma sosial, dan kultural.
Soenán Hadi Poernomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Kecewa Layanan Setia Royaltrans S31
SEBAGAI pengguna setia bus Transjakarta (Royaltrans S31 rute Bintaro-MRT Fatmawati) sejak 2019, saya kecewa pada layanan Transjakarta belakangan ini. Sering kali bus berangkat lebih awal sekitar 30 menit dari jadwal yang tertera, terutama pada jam sibuk pukul 06.15-07.45. Misalnya bus yang seharusnya berangkat pada pukul 07.45 kerap kali sudah melaju pukul 07.15 karena bus telah penuh terisi. Hal ini sangat mengganggu karena menyulitkan penumpang untuk menyesuaikan jadwal.
Saya berharap pihak Royaltrans dapat memperhatikan masalah ini dan mengambil tindakan perbaikan. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menambah jumlah bus pada jam-jam sibuk, khususnya pukul 06.00-07.30. Dengan demikian, jumlah penumpang yang meningkat diharapkan dapat terakomodasi dan mengurangi risiko keberangkatan bus lebih awal. Toh, ini sejalan dengan harapan pemerintah yang ingin warganya lebih banyak menggunakan sarana transportasi publik.
G. Ridho
Bintaro, Tangerang Selatan, Banten
Donasi Lewat Kartu Kredit
PADA 2004, di Pasar Modern Batununggal Indah, Bandung, saya ditawari oleh dua remaja gadis menjadi donatur sukarela buat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Donasi tersebut dilakukan secara otomatis melalui kartu kredit Citibank sebesar Rp 100 ribu per bulan dan akan berakhir dalam waktu satu tahun. Sekitar enam bulan lalu, Citibank “mendelegasikan” jaringan retail, termasuk kartu kredit, kepada Bank UOB Indonesia. Donasi yang awalnya sukarela kini menjadi tidak bisa dihentikan.
Pada waktu penggantian dari Citibank ke UOB, saya sudah menyetop kepemilikan kartu kredit UOB. Uang pensiunan pegawai negeri sekitar Rp 4 juta tidak cukup digunakan untuk berdonasi dan memenuhi kehidupan sehari-hari. Saya sudah menelepon kantor UNESCO di Jakarta untuk menghentikan donasi, tapi tak ada respons. Sementara itu, penagih utang UOB malah merisak saya yang ingin menyetop tagihan. Lalu bagaimana jika sudah seperti ini?
Sophan Y. Warnasouda
Bandung, Jawa Barat