Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBACA budiman, sebentar lagi 2014 berlalu; apa yang bisa kita katakan tentang tahun bergolak itu?
Satu yang terpenting adalah pemilihan umum presiden. Dilangsungkan dengan segenap keriuhan—dengan fitnah, intrik, bahkan sumpah-serapah—inilah pemilu pertama yang diikuti hanya oleh dua kandidat. Pertarungan yang diametral: kami atau kalian, menang atau kalah, habis atawa menghabisi. Masyarakat terbelah. Media sosial menjadi padang kurusetra yang senyata-nyatanya.
Jurnalisme lalu diharapkan menjadi "peneduh". Tapi bagaimana peran itu seharusnya dijalankan?
Dalam prinsip jurnalisme damai, dalam liputan konflik sosial di satu kawasan, "teduh" dicapai terutama dengan menyajikan kisah-kisah yang menggambarkan harmoni dua pihak yang berseteru. Dalam liputan konflik Ambon atau Poso, misalnya, media yang meneduhkan adalah yang menulis proses baku bae atau yang menggali ajaran leluhur tentang perdamaian. Cerita tentang perang dengan detail baku bunuh direduksi—jika bukan diharamkan sama sekali.
Dengan kata lain, media yang meneduhkan adalah media yang "menyembunyikan" fakta kekerasan dan mengeÂdepankan—bukan mengada-adakan—kisah persahabatan. Media yang meneduhkan adalah media yang berpihak pada prinsip-prinsip perdamaian.
Pemilu 2014, betapapun sengitnya, bukan sebuah konflik sosial, meski sebagian pengamat sempat cemas itu bakal terjadi. Pemilu adalah pertarungan kekuasaan yang dijalankan dalam bingkai demokrasi. Karena itu, "meneduhkan" dalam pengertian pemilu bukanlah menyembunyikan, melainkan mengklarifikasi fakta.
Media yang baik adalah media yang mencari fakta tentang sisi baik dan sisi buruk sang kandidat, agar publik memiliki informasi yang cukup tentang orang yang hendak mereka pilih. Media selayaknya mengklarifikasi fitnah, bukan menyebarluaskannya.
Berbekal fakta "baik" dan "buruk" tadi, preferensi media terhadap salah satu kandidat mungkin tak terelakkan. Netralitas tak selamanya merupakan gagasan yang mulia. Dalam versi lain, ia boleh jadi telah merupakan ilusi. Dalam memilih angle berita, menetapkan sumber, dan menyusun daftar pertanyaan, misalnya, wartawan tak bisa mengelak dari subyektivitas—semacam "selera" pribadi tapi berada dalam lorong obyektivitas. Dengan kata lain, ketidaknetralan.
Dalam konteks jurnalisme damai, media berpihak pada prinsip-prinsip perdamaian. Dalam konteks pemilu, media berpihak pada masa depan demokrasi dan kebebasan. Yang terpenting adalah kesetiaan pada etika dan prinsip jurnalistik: verifikasi, konfirmasi, cover all side. Juga: diskusi yang terbuka dan adil di ruang redaksi.
Jauh di atas itu semua adalah independensi, yakni kebijakan redaksional yang ditentukan semata-mata oleh pertimbangan pemberitaan, bukan oleh hal lain.
Penerapan semua prinsip tersebut tak menjamin media dengan sendirinya menemukan kebenaran. Seperti telah sering dikutip, tugas media bukanlah mengungkap kebenaran, melainkan mengetuk-ngetuk pintu untuk memancing yang hakiki.
Alegori yang sudah sering dipakai: media sebagai penyusun puzzle. Dari ribuan keping teka-teki itu, mungkin cuma beberapa ratus yang dapat dihimpun. Media sepatutnya berendah hati untuk tak mengklaim telah menyusun semua potongan. Kerja jurnalistik menyatukan sebagian puzzle diharapkan diikuti kerja elemen lain—misalnya penegak hukum dalam konteks jurnalisme investigasi. Tak pernah ada kata final terhadap kepingan yang sudah disatukan. Potensi kesalahan harus selalu dibuka. Dalam hal ini, media selayaknya membuka diri terhadap proses koreksi.
Pembaca budiman, dengan keyakinan inilah kami menyongsong 2015, tahun yang penuh tantangan meski mungkin tak sepanas 2014.
Segenap agenda menunggu: penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN, pemberlakuan subsidi tetap bahan bakar minyak, perang terhadap korupsi, efisiensi anggaran pembangunan, aksi bakar kapal pencuri ikan, penggantian pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, penetapan direktur badan usaha milik negara, ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-70, dan setumpuk acara lain.
Semua menuntut ketekunan "sang penyusun puzzle": kerja keras yang menggabungkan sikap konfiden sekaligus meragukan diri sendiri.
Kami percaya, jurnalisme pada akhirnya adalah ikhtiar—ungkapan lama yang hingga saat ini tak kami ragukan relevansinya.
Arif Zulkifli
Pemimpin Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo