Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sejengkal mukjizat tanpa wujud

Seniman david barr, dari a.s memancangkan sudut terakhir karyanya di irian jaya yang disebut proyek 4 sudut. karya yang tidak lagi mewujudkan lukisan tapi sebuah gagasan yang tidak mudah dimengerti. (sr)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, Sabtu pekan lalu, seniman Amerika, David Barr, bisa terbang ke Irian Jaya dari Jakarta. Dan di kawasan Indonesia, pada koordinat 2 6' 36" Lintang Selatan dan 137 23' 24" Bujur Timur, sekitar 10 kilometer dari Teluk Waropen, ia menanam potongan marmar keabu-abuan yang sepintas kelihatan seperti minatur piramid. Penanaman itu diikuti dengan penuangan air yang berasal dari es yang diciduknya di Greenland, Kutub Utara. Peristiwa yang terdengar sederhana tapi aneh itu merupakan kerja besar bagi Barr. Hampir lima tahun ia menunggu - nyaris putus asa - pemerintah Indonesia memberinya izin untuk menggali lubang dan menuang air di tempat itu. Bukan cuma kedutaan besar Amerika Serikat yang berusaha keras, tapi sampai-sampai senator Michigan, Carl Levin, menyelipkan surat rekomendasi. Tidak aneh bila Barr menyebut pemberian izin itu sebagai mukizat. Departeman luar negeri RI mengakui, pemrosesan izin memang menjadi lama. Namun, seperti yang dijelaskan pihak Deplu, izin itu melibatkan banyak sekali instansi lain. Bisa dimengerti pula bila di setiap instansi permohonan izin itu menimbulkan keheranan - besar kemungkinan dianggap main-main, karena karya Barr memang tidak mudah dimengerti. "Karya" itu sebenarnya sebuah proses yang perencanaan dan pelaksanaannya memakan waktu bertahun-tahun - yang merupakan salah satu hasil perkembangan paling mutakhir di dunia seni rupa. Sebagai sebuah cabang yang meninggalkan wujud karya (dematerialisasi), karya jenis ini memang sudah tidak lagi berwujud seperti lukisan, patung, atau gambar, atau lainnya. Tapi semata-mata sebuah gagasan - yang mengesahkan cara apa pun untuk mencapai bentuk komunikasinya. Termasuk, di antaranya, uraian verbal berupa konsep. Maka, karya dari jenis ini sering merupakan campuran berbagai media dan bidang (TEMPO, 9 Juli 1983). "Selama ini pengertian seni rupa selalu berupa sesuatu yang bisa kita lihat, atau bisa kita pegang," kata David Barr kepada James Lapian dari TEMPO pekan lalu di Hotel Mandarin, Jakarta. "Tapi bagi saya itu belum cukup. Saya ingin membuat sesuatu yang sebenarnya cuma ada di kepala," katanya lagi. Barr menginginkan semacam komunikasi antarpikiran. Medianya antara lain bahasa verbal - karena karyanya itu akan berakhir pada pembuatan buku yang memuat semua perencanaan, pengalaman pelaksanaan, dan pikiran-pikirannya sendiri. Proses perencanaan pada karya Barr adalah ini: mencari empat buah titik di permukaan bumi, yang garis pintasnya menembus bumi dan membentuk struktur tetrahedron - empat segitiga yang membangun piramid sama sisi. Dan titik-titik itu, dalam perhitungan Barr, terdapat di sini: Pulau Paskah, Afrika Selatan, Grecnland, dan Irian Jaya. Karena itu, karya ini disebutnya Proyek Empat Sudut. Maka, ia pun mengunjungi titik-titik itu di permukaan bumi, yang jarak tempuhnya meliputi 10.000 kilometer lebih. Di setiap titik ia menanam potongan marmar tadi, yang disebutnya tetrahidra. Selain membuat dokumentasi pada setiap penanaman, Barr juga membikin semacam upacara: istrinya menang, dan ia sendiri membaca puisi. Berapa ukuran marmar itu? Kurang dari sejengkal. Barr memulai perjalanannya 30 Desember 1980. Sekitar setengah tahun ia menyelesaikan kunjungan ke tiga titik - menghabiskan biaya US$ 50.000. Setelah itu proyeknya terhenti - pada titik Irian Jaya - sampai awal tahun ini. Entah berapa puluh ribu dolar lagi dibuangnya untuk menyelesaikan Proyek Empat Sudut. Titik terakhir di Irian Jaya sendiri termasuk kawasan yang tak mudah dicapai: Barr harus mencarter helikopter, dan membayar ekspedisi yang cukup mahal. Karya Barr memang ekspresi gila-gilaan usaha yang agak terlalu besar untuk gagasan yang, menurut pemikiran normal, hampir tak menawarkan apa-apa. Masalah ruang yang diangkutnya cuma sambungan garis perkembangan persoalan ruang yang sudah dibuat teoretisi - dari karya ruang, karya ruang terbuka, karya lingkungan sampai ruang imajinatif. "Ruang pada karya saya adalah ruang yang ada dalam pikiran," ujarnya. Di samping itu, ikhtiar membuat karya di ruang terbuka diganjalnya dengan semangat menjauhi ruang pameran, prinsip yang sudah dikunyah sejumlah besar seniman muda. Dan, berbeda dari karyakarya raksasa - karya lingkungan - yang masih menawarkan semacam pengalaman baru, karya Barr memang hanya bertopang pada pernyataan verbal. Hanya sebuah tanda yang dingin, bukan simbol yang kaya atau pikiran yang mengganggu. Ini memang masalah besar seni konseptual, yang bertutur tapi tak melebihi sastra, yang berfilsafat tapi tak mencapai kesimpulan . Dalam Proyek Empat Sudut, Barr mengambil struktur atom karbon (tetrahedron) yang disebutnya model kehidupan juga mengkaji ekspedisi Thor Heyerdahl. Ada lagi: "Ciri dan corak berbagai budaya sebenarnya isi-mengisi sejak awal," katanya tentang empat sudut dunia yang dipilihnya, yang mempunyai jenis budaya berbeda-beda. Sekadar mengingatkan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus