Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Senjata Haram di Dalam Bara

Setelah aneka razia dan pelucutan, ratusan senjata organik tentara dan polisi masih saja beredar di Maluku.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Senjata Haram di Dalam Bara
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Polisi Maluku punya cara baru mengumpulkan senjata api haram yang banyak beredar di pulau itu: iming-iming hadiah. Dua pekan lalu, Kepala Kepolisian Daerah Maluku menyerahkan Rp 1 juta kepada seorang sopir angkutan kota Ambon. Itu uang "tanda terima kasih" karena si sopir mengantarkan 27 bom rakitan kepada polisi. Terbungkus dalam sebuah tas kain hijau, setiap pucuk senjata itu dibuat dari potongan pipa besi sepanjang 15 sentimeter yang diberi sumbu di ujungnya. "Kalau tidak diberi hadiah, kan, kasihan. Mereka sudah dengan rela meninggalkan pekerjaannya untuk menyerahkan bom itu," kata Komisaris Polisi Lodwyk Soplanit dari Bagian Humas Polda Maluku. Dan uang rupanya bukan satu-satunya "alat barter". Ada warga yang meminta bahan bangunan sebagai ganti senjata yang mereka serahkan.

Senjata api haram selalu membuat polisi dan tentara di kawasan bergolak itu pusing tujuh keliling. Sejak kerusuhan antar-pemeluk agama pecah di Maluku pada 1999, senjata api—baik yang organik maupun rakitan lokal—beredar luas di kalangan prajurit tak resmi itu. Senjata organik tentara Indonesia semacam pistol FN dan senapan serbu M-16 bukan barang asing di Maluku. Juga senjata rakitan macam panah, bazoka, serta senapan locok. Jumlahnya ribuan.

Ketika sebuah gudang senjata milik Brimob Ambon terbakar, banyak senjata hilang. Peristiwa ini kian merunyamkan keadaan karena kedua pihak (pihak Kristen/merah dan pihak Islam/putih) sedang berperang. Senjata yang hilang ini bisa menjadi alat serbu bagi para perusuh—selain kedua pihak yang berseteru punya pabrik senjata rakitan sendiri. Kawasan Saparua, Ulath, Aboru, Kudamati, dan Passo, misalnya, dikenal sebagai pabrik bedil untuk kelompok Kristen. Sedangkan kelompok Islam mengemas persenjataannya di Desa Kailolo, Hitu, dan kawasan muslim di dalam Kota Ambon.

Pekerjaan polisi bertambah berat karena selama konflik, menurut keterangan polisi sendiri, banyak senjata yang diselundupkan dari luar negeri. Contohnya senapan serbu AK-46 dan 47 dari Filipina. Ada pula yang masuk dari Makassar dan Papua Nugini. Malah ada beberapa senjata serbu jenis SS-1 buatan Pindad—pabrik senjata resmi di Bandung milik Angkatan Darat. Selain mengumpulkan senjata, polisi bekerja keras menertibkan alat komunikasi semacam handy-talkie yang sering dipakai menyebarkan isu-isu bohong, misalnya akan ada penyerangan di kawasan tertentu.

Sejauh ini, ada rupa-rupa cara yang ditempuh untuk melenyapkan—minimal menipiskan—peredaran senjata haram. Pertama, melalui Perjanjian Damai Malino II pada Februari 2002. Isinya, antara lain, kesepakatan pihak merah dan putih untuk menyerahkan senjata mereka. Seruan penyerahan peralatan perang sejatinya sudah dilakukan sejak tahun 2000. Tapi, karena hasilnya kurang, poin ini dimasukkan ke dalam perjanjian itu, lengkap dengan tenggatnya. Penguasa darurat sipil memberlakukan tenggat mulai 1 April 2002.

Dalam struktur pemerintahnya, Penguasa Darurat Sipil Maluku dibantu tiga badan, yakni Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, Kepolisian Daerah Maluku, serta Kejaksaan Tinggi Maluku. Dalam hal penyerahan senjata, ketiga badan itu turut dilibatkan. Nah, sejak tenggat diberlakukan, ribuan senjata rakitan bisa dimusnahkan. Pelucutan senjata dari rumah ke rumah juga digalakkan. Hasilnya?

Lebih dari 10 ribu senjata aneka jenis bisa disita. Ada panah dan busur, parang, tombak, panah wayer (baling-baling), senjata rakitan, dan bom rakitan, yang diserahkan oleh warga Islam dan Kristen kepada aparat keamanan. Tapi, seolah tak kunjung habis, senjata-senjata itu tetap masih terlihat saat konflik kembali meletus. Sampai hari ini, menurut perhitungan polisi, senjata api yang beredar, terutama senjata organik anggota kepolisian dan tentara, masih lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah terkumpul. Buktinya, sehari sebelum sopir angkot di atas menerima hadiahnya, Brimob Maluku menemukan 23 buah bom rakitan di bekas puing-puing kebakaran di Desa Rumah Tiga, Teluk Ambon Baguala.

Polda Maluku juga menerima penyerahan senjata dari warga Ulath, Kecamatan Saparua, serta Desa Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, di wilayah Maluku Tengah. Senjata yang diserahkan, antara lain, 4 buah senjata organik, 77 senjata rakitan laras panjang, 3 pistol rakitan, 45 bom rakitan, 35 bazoka tembak rakitan, 16 panah dan busur, serta 814 panah wayer.

Selain kepada polisi, masyarakat sudah menyerahkan senjatanya kepada Komando Distrik Militer 1504 Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Markas tentara ini agaknya menjadi tempat favorit: sudah tiga kali warga menyerahkan senjata di sana. Sedangkan Polda Maluku cuma menerima sekali penyerahan senjata. Menurut Komandan Kodim 1504 Letnan Kolonel Yudi Zanibar, sejak dicabutnya status darurat sipil di Maluku pada 5 September lalu, masyarakat memang telah mengantarkan sejumlah senjata secara sukarela. Yudi mencontohkan warga Desa Rutong, Kecamatan Banggula, Kota Ambon, yang datang ke kantornya. Untuk ketiga kalinya mereka menyerahkan senjata dan amunisi miliknya ke kodim tersebut.

Senjata api yang diserahkan terdiri atas sepucuk senjata organik jenis KSK, 17 pucuk senjata rakitan laras panjang, dan 5 pucuk laras pendek. Sedangkan amunisi perang yang diserahkan berupa 14 bom rakitan, 42 buah panah wayer, dan ratusan peluru berbagai jenis. Kalau dihitung-hitung, sejak Maluku kembali ke tertib sipil September lalu, 94 bom dan 72 senjata rakitan telah diantarkan ke polisi. Kata Yudi, siapa saja yang menyerahkan senjatanya akan dilindungi aparat keamanan dan namanya dirahasiakan. Tapi, jika dalam operasi pelucutan senjata ini masih ada yang kedapatan menyembunyikan senjata, "Akan diproses secara hukum," katanya.

Beberapa penduduk yang ditemui TEMPO mengaku enggan menyerahkan senjata mereka. Mereka memilih tetap menyimpannya di tempat yang aman. "Untuk berjaga-jaga saja. Jangan sampai ada penyerangan baru," kata seorang warga Kota Ambon. Gubernur Maluku Karel Alberth Ralahalu ikut turun tangan meminta warga agar mengembalikan senjata mereka karena situasi keamanan semakin membaik. "Masyarakat sipil tak punya hak untuk memiliki senjata api. Jadi, sebaiknya diserahkan kepada aparat keamanan," ujar sang Gubernur.

Ucapan Karel Alberth Ralahalu itu bukan basa-basi. Sebab, razia dan penyitaan senjata membuat polisi dan tentara sudah menahan puluhan orang. Dalam catatan Markas Polda Maluku, hingga tahun lalu, sebanyak 58 warga telah ditahan karena ketahuan tak mau menyerahkan senjata. Rinciannya, 18 orang ditahan di Mapolda Maluku, 20 orang ditahan di mapolres di wilayah Maluku, dan 20 orang dititipkan di Kodam Pattimura.

Hasil razia senjata ini juga bisa disaksikan di Lapangan Merdeka Ambon pada awal tahun lalu: lebih dari 9.000 senjata rakitan seperti bazoka, bom, amunisi, panah wayer, serta parang dan tombak dimusnahkan. Dari hasil razia dan pelucutan paksa itu, aparat menyita berjenis-jenis senjata: mulai senjata laras panjang dan laras pendek (rakitan ataupun organik), bazoka dengan jenis tembak dan bakar, roket Jerman, pelontar roket rakitan, bom rakitan, hingga senjata tajam seperti parang dan tombak serta anak panah.

Pendek kata, begitu banyak lokasi perakitan, hingga polisi kesulitan memperkirakan jumlah senjata rakitan yang masih disembunyikan penduduk. Pada April tahun lalu, sekitar 1.700 senjata rakitan dihancurkan. Dan setelah Presiden mencabut darurat sipil pada 5 September lalu, jumlah yang beredar masih mencapai angka ratusan.

Terbakarnya gudang senjata milik Brimob Daerah Maluku beberapa waktu lalu juga membikin soal tersendiri. Isi gudang itu sempat dijarah warga. Tapi jumlah yang hilang belum diketahui. "Sulit memperkirakannya karena semua administrasinya ikut terbakar," kata Lodwyk Soplanit. Tapi, dari beberapa data yang disampaikan oleh pihak tentara dan polisi di Maluku, sekitar 257 senjata organik dan 3.000 senjata rakitan masih tersebar di Ambon, Pulau-pulau Lease, Pulau Buru, dan Pulau Seram.

Alhasil, kendati keadaan sudah mulai pulih, ancaman belum hilang sama sekali. Senjata-senjata haram itu bisa saja meledak sewaktu-waktu—bila ada api lama yang tepercik kembali.

I G.G. Maha Adi, Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus